Perjalanan Menyusuri Trans Kalimantan
PANGKALAN BUN, iNews.id - Minggu pagi. Seperti biasa, pukul 08.00 WIB rombongan BMW Motor Cycle Club (BMWMC) bersiap meninggalkan Kota Pangkalan Bun. Kali ini, Mas Soderi dengan R1200C dan Pak Budhi Dharma dengan R100GS, tidak akan ikut rombongan karena mereka berdua masih memiliki agenda di Pangkalan Bun. Pak Budi menunggu kiriman suku cadang di Bandara Iskandar, sedangkan Mas Soderi masih harus menemui keluarganya. Rencananya mereka akan menyusul ke Palangkaraya yang berjarak 455 km dari Pangkalan Bun.
Di atas kertas, perjalanan akan memakan waktu 8-10 jam. Namun dengan rute yang tak terlalu kami kenal, pasti perjalanan sulit diprediksi. Palangkaraya menjadi kota istirahat karena kami berencana melakukan wisata ke beberapa lokasi.
Jam menunjukkan pukul 09.00, namun kami tak bisa langsung berangkat. Kawan-kawan Kawasaki Ninja Indonesia (KNI) chapter Pangkalan Bun berencana mengantar kami hingga ke batas kota. Usai doa bersama akhirnya rombongan menuju batas kota di bundaran Pangkalan Lima.
Di sini kami juga menunggu rombongan KNI lain yang meminta bertemu. Ternyata mereka menyiapkan bekal bagi kami di perjalanan. Kali ini, tahu sumedang! Unik memang, di berbagai jalur lintasan Trans Kalimantan seringkali kami melihat warung-warung dengan plang warna merah mencolok bertuliskan tahu sumedang. Dan sungguh, bekal dari Bro Ruddy dan Bagus ini ternyata mantap dan nikmat.
Berdoa sebelum memulai perjalanan.
Sekitar pukul 10.00, di tengah cuaca hujan, tujuh motor BMW meninggalkan Pangkalan Bun. Target utama kami makan siang di Sampit yang jaraknya separuh perjalanan alias 250 km, masih di Kalimantan Tengah. Namun jalanan menuju Sampit tak terlalu mulus.
Banyak lubang dan perbaikan jalan yang sedang berlangsung. Batuan kerikil yang bertebaran sepanjang jalan membuat kami harus waspada dan menahan gas. Apalagi mobil-mobil di Trans Kalimantan tidak berjalan perlahan saat bertemu jalan rusak. Mereka tetap ngebut meninggalkan debu tebal dan kerikil yang beterbangan.
Di kawasan Pembuang Hulu, jalan rusak dan jalan mulus silih berganti, di antara deretan kebun kelapa sawit dan tanah basah berawa-rawa lahan gambut khas Kalimantan. Beberapa ruas jalan dibangun jembatan yang seperti dekat dengan tanah, namun menjadi pengalaman unik karena kami bermotor bak di jalan tol bandara di Tangerang, yaitu jembatan yang tak terlalu tinggi, namun cukup panjang.
Keasyikan sempat terganggu ketika Mas Ferry dengan R80G/S-nya tiba-tiba keluar jalur saat menikung di kerikil, membuat kami terkejut dan waspada dengan kondisi jalan. Beruntung Mas Ferry masih bisa handling motornya, sehingga tak terjatuh.
Lantaran panas dan hujan silih berganti, kami tak mencapai target kota Sampit untuk makan siang. Rombongan berhenti di Sebabi sekitar 45 menit dari Sampit karena saat salat dzuhur telah tiba dan perut sudah terasa lapar. Lagi-lagi menu aman di Lintas Kalimantan, makan ikan bakar. Hampir selalu lezat cara warga Kalimantan memasak ikan, tak terlalu berbumbu dan terasa segar.
Lepas dari Sebabi, kondisi jalan tak banyak berubah dan kondisi cuaca juga tetap tak menentu. Sepanjang perjalanan, jas hujan tak kami ganti dan tetap dikenakan karena panas saat ini bisa mendadak berubah hujan deras dalam hitungan menit.
Bertukar cenderamata dengan Kawasaki Ninja Squad Sampit.
Menjelang masuk Sampit, tiba-tiba rombongan 7 motor dan 1 stroring ini disalip 5 motor Kawasaki Ninja. Lagi-lagi, solidaritas para bikers setempat menyambut kami di kota Sampit. “Kansas” Kawasaki Ninja Squad Sampit, demikian nama klub yang mendapat tugas menyambut rombongan BMWMC Jakarta. Dan kami pun digiring ke rumah makan Mentaya di kota Sampit, Kalimantan Tengah. Karena sudah makan siang, kami hanya ngopi melepas lelah sekaligus bersilaturahmi dengan kawan-kawan bikers di Sampit dan menyempatkan untuk saling bertukar cenderamata.
Karena sudah sore sementara perjalanan menuju ke Palangkaraya masih 211 km, kami pamitan. Namun rombongan BMW didaulat untuk menuju batas kota tempat berkumpulnya para bikers di Sampit yang sudah menunggu untuk foto bersama. Kami pun menyempatkan diri berfoto bersama sambil berganti jaket karena tampaknya cuaca cukup cerah dan jas hujan tak lagi diperlukan.
Perjalanan dari Sampit menuju Palangkaraya sore itu medannya cukup beragam. Di kawasan Lubuk Ranggan, Kotawaringin, jalan aspal berubah menjadi tanah merah. Untunglah sudah dipadatkan, sehingga tak lagi masuk katagori jalur off road.
Trans Kalimantan memang sudah bisa menghubungkan kendaraan antarkota dengan lebih nyaman. Namun mengendalikan motor berukuran besar di jalanan tanah merah yang basah tentu tak mudah. Kami harus berhati-hati, apalagi menjelang magrib cahaya matahari mulai redup tertutup di balik cakrawala.
Suasana malam di batas kota Pangkalan Bun.
Setelah mengisi bensin di Kecamatan Pundu, perjalanan memasuki Kecamatan Banut Kalaman kian sulit karena jalan tanah yang kami hadapi makin lembek, dan harus berpapasan dengan bus dan truk yang merayap perlahan. Di sinilah kawan-kawan yang menggunakan motor adventure BMW seri GS diuntungkan, karena travel dan handling mereka yang nyaman di jalur off road.
Jam sudah menunjukan pukul 19.00, namun perjalanan terasa kian merayap. Malam gelap dan jalan yang berganti-ganti antara aspal dan bebatuan serta tanah merah, sehingga kami pun beriringan konvoi dalam kesiagaan tinggi. Memasuki Kota Kasongan, sopir mobil storing Isay berinisiatif memimpin rombongan karena Isay pernah melalui jalur ini dan tahu lokasi makan malam yang enak dan nyaman. Kali ini, menu ikan berganti dengan sop kaki dan sop buntut yang hangat.
Usai makan malam, kami diingatkan oleh Isay dan sopir truk di rumah makan, jalur masuk ke Palangkaraya rawan kecelakaan karena “sangat membosankan”, dengan jalanan panjang yang lurus namun bergelombang karena aspal di lahan gambut.
Benar saja, perjalanan malam itu sangat membosankan. Jalanan lurus bagaikan tol, mulus beraspal namun bergelombang, justru membuat mengantuk. Sesekali motor rombongan terlihat oleng dan berusaha mengikuti garis putih serta lampu belakang kawan di depan.
Alhamdulillah, cuaca sangat cerah, bintang berkilap di langit bersih membuat suasana malam seperti di Planetarium dan berulangkali saya menengadah ke atas bersyukur melihat panorama indah bintang-bintang di langit.
Yang terlihat lebih repot sebetulnya mereka yang membawa boncengan, Lexi R80 yang berboncengan Bu Uchi dan Ervien R100GS Paris Dakkar yang berboncengan dengan Bu Ellis. Bayangkan saja, saat kantuk menyerang, boncenger oleng dan helmnya akan membentur rider di depan. Atau bahkan boncenger terlelap membuat motor oleng.

Sekitar pukul 21.30 kami memasuki Kota Palangkaraya. Di batas kota, rombongan KNI Palangkaraya sudah siap menyambut dan memandu kami memasuki kota. Dalam panduan knalpot Ninja, rasa kantuk mulai hilang dan semangat kembali meningkat melihat Kota Palangkaraya yang bersih.
Jalanan lebar di Jalan Raya Tjilik Riwut ini mengingatkan kami bila masuk Kota Semarang karena langsung bertemu beberapa bundaran serta bangunan khas di dekat simpangan bundaran tersebut. Kami dipandu menuju hotel, namun sebelumnya diajak menikmati kopi dan bubur kacang di Jalan RTA Miloto, dekat bunderan jalan Imam Bonjol.
Acara ramah tamah malam itu ditutup dengan rencana beberapa anggota KNI Palangkaraya yang akan menemani rombongan BMWMC di esok hari menuju Borneo Orangutan Survival dan Museum Balanga.
Kami pun masuk ke hotel Grand Sakura untuk beristirahat, lengkap dengan kisah perjalanan malam yang menegangkan dan jalanan berlumpur khas Kalimantan. Namun fokus utamanya, kami merasa beruntung karena lintasan Trans Kalimantan sejak 2012 sudah bukan lagi jalan lumpur, di mana mobil dan motor harus ditarik dengan tambang. Pembangunan di Kalimantan ada hasilnya.* (bersambung).
*Penulis
Rizal Yusacc
BMW Motor Cycle Club Jakarta
Editor: Zen Teguh