Ketiga, kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Sehingga ketika perusahaan penambang nikel ini telah berhasil menciptakan industri hilir nikel, maka wajib untuk memenuhi kebutuhan Indonesia terlebih dahulu sebelum diekspor.
Keempat, izin ekspor bahan baku, Uni Eropa menilai bahwa kebijakan ini tidak sesuai dengan Pasal XI:1 General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994.
Terakhir, skema subsidi, Uni Eropa mengklaim pembebasan bea masuk merupakan subsidi yang bergantung pada penggunaan barang-barang domestik atas impor yang dilarang berdasarkan Pasal 3.1 (b) Perjanjian tentang Subsidi dan Tindakan Penyeimbang/Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (ASCM).
Bahlil mengatakan pemerintah akan terus memperjuangan kebijakan hilirisasi demi Indonesia. Sebab, hal itu merupakan hak yang harus diperjuangkan.
"Tetapi apa yang terjadi, Uni Eropa membawa kita ke WTO, mereka memprotes kita agar tetap mengirim bahan baku mentah, kita dibawa ke WTO dan kita kalah di pengadilan. Saya lapor ke presiden, mohon arahan, bapak presiden memerintahkan, lawan Uni Eropa, Indonesia sudah merdeka, tidak boleh satu negara yang bisa mengatur kita," ucap dia.
"Kalau bapak Presiden orang Jawa saja bisa melawan, apalagi menterinya yang orang Papua, kita lawan, makanya kita naik banding ke WTO, ini adalah bentuk kedaulatan kita sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia," ujar Bahlil.