Adapun bank sentral Rusia menaikkan lebih dari dua kali lipat suku bunga menjadi 20 persen pada Maret. Itu dilakukan sebagai upaya untuk menghentikan kejatuhan rubel lebih lanjut.
Sementara mayoritas perusahaan asing telah menarik diri dari Rusia karena invasi ke Ukraina. Perusahaan lainnya, seperti raksasa makanan Swiss Nestle, telah menarik merek-merek besar seperti KitKat dan Nesquik.
Video di media sosial menunjukkan pembeli berebut membeli gula dan soba di supermarket di Moskow. Wakil Perdana Menteri Viktoria Abramchenko mengatakan, Rusia merupakan negara swasembada gula dan soba.
"Tidak perlu panik membeli barang-barang ini. Cukup untuk semua orang," ujarnya.
Tetapi beberapa orang Rusia mengaku mereka merasakan tekanan. Ksenia Mironiuk mengatakan, harga banyak barang kebutuhan pokok telah naik secara dramatis di St Petersburg.
"Ini sudah cukup terlihat ketika Anda pergi berbelanja. Banyak orang yang membelinya dalam jumlah besar karena khawatir akan hilang sama sekali," tuturnya.
Merkutsio Anzhello, yang tinggal di selatan kota Krasnodar, mengatakan, harga kebutuhan pokok sekarang 10 hingga 20 persen lebih mahal. Namun dia mengaku tidak terlalu khawatir.
"Secara umum, baik saya maupun kerabat saya tidak peduli tentang hal itu. Harga di Rusia terkadang naik dan kami terbiasa dengan ini," ucapnya.
Rusia telah membalas sanksi internasional, dan mengancam akan menyita aset perusahaan asing yang telah berhenti beroperasi di negara itu. Presiden Rusia Vladimir Putin juga telah mengumumkan, Rusia akan mulai menjual gas alam ke negara-negara yang tidak bersahabat dalam mata uang rubel. Langkah tersebut bertujuan untuk mendukung rubel.
Uni Eropa bergantung pada gas Rusia dengan persentase mencapai 40 persen. Namun, banyak kontrak yang ada disepakati dalam euro dan tidak jelas apakah Rusia dapat mengubahnya. Meski demikian, pengumuman Putin mendorong rubel ke level tertinggi tiga minggu, yang ditutup pada 97,7 terhadap dolar AS.