"Seperti yang pernah terjadi, disrupsi tersebut, termasuk pengangguran yang tinggi, investasi yang lemah, dan produktivitas yang rendah, jika tidak ditangani dengan benar dan cepat, pasti akan meninggalkan bekas luka yang berkepanjangan," ungkap Sri.
Bekas luka ini, lanjutnya, dapat menghambat pemulihan sektor swasta serta menyebabkan dampak jangka panjang pada keuangan publik. Hal ini juga dapat mempengaruhi baik sektor riil maupun sektor keuangan.
"Pada akhirnya hal ini akan menghambat kemajuan menuju pertumbuhan ekonomi yang kuat dan tangguh. Dengan latar belakang ini, saat dunia bergerak menuju pemulihan, ada kebutuhan yang mendesak untuk mengatasi risiko yang berasal dari support exiting policy dan scarring effect," tutur Sri.
Untuk itu, Sri Mulyani menegaskan, penting untuk memastikan negara-negara "recover together" untuk menghindari ketidakseimbangan kian menumpuk. Kebijakan ke depan harus dikembangkan dengan baik, terencana, dan matang.
"Kebijakan ke depan harus bisa mengembangkan exit strategy yang terkalibrasikan, terencanakan, dan terkomunikasikan dengan baik, dan mengidentifikasi strategi untuk mengatasi scarring effect dan memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi inklusif, dan tidak ada yang tertinggal," ungkap Sri.