Namun, Telisa mengungkapkan bahwa dari hasil stress test yang dilakukan oleh akademisi setidaknya perekonomian Indonesia masih mampu tumbuh positif diangka 3 persen hingga batas asumsi nilai rupiah Rp20.000 per dolar AS dengan asumsi harga minyak melesat 150 dolar AS per barel.
"Kalau rupiahnya ke Rp20.000per dolar AS, minyak USD150 perbarel, itu memang turun tapi kita masih bisa tetap tumbuh diangka 3 persen, jadi Indonesia masih tetap tumbuh positif," ujar Telisa dalam Market Review IDXChannel, Senin (6/11/2023).
Sedangkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi diangka 4 persen bisa tercapai dengan asumsi nilai tukar Rp18 ribu/dollar dengan harga minyak 120 dolar AS per barel. Sehingga menurutnya perekonomian Indonesia masih mampu tumbuh positif ditengah adanya acaman ekonomi global.
Dia menjelaskan, jika terjadi shcok gabungan, misalnya rupiah paling buruk Rp18.000 per dolar AS dan harga minyak 100 dolar AS per barel, maka pertumbuhan ekonomi bisa menjadi turun sebesar 0,66 persen.
"Jadi kalau prediksi sebelumnya 5 persen itu akan turun ke 4,34 persen. Artinya apa, masih tumbuh, cuma tidak 5 persen. Kalau misalkan hargai minyak naik menjadi 130 dolar AS per barel, maka juga akan turun 0,7 persen jadi artinya kalau dari 5 persen maka pertumbuhan ekonomi jadi 4,3 persen," kata Telisa.
Sebelumnya, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2023 ini berada diatas 5%. Angka pertumbuhan tersebut didasarkan pada pertimbangan dinamika perekonomian nasional terkini, agenda pembangunan yang akan dicapai, serta potensi risiko dan tantangan yang dihadapi.
"Cuma kita khawatirkan, itu kan secara fundamental, kalau di Market itu yang kita khawatirkan spekulatif attack nya sih, kemudian itu busa menghancurkan fundamental yang resilient tadi. Jadi yang tumbuh itu kan di sektor rill, tetapi sektor keuangan itu karakteristik berbeda," tutur Telisa.