Kendala pasok DMO sendiri didorong oleh disparitas harga antara harga ekspor dan dan DMO. Artinya, IUP dan PKP2B memilih mengekspor batubara lantara nilainya jauh lebih besar dibandingkan harga supply batubara kepada PLN yang dipandang kecil.
"Perusahaan-perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban DMO, itu tiga bulan berikutnya tidak boleh ekspor, mungkin pemerintah perlu membuat aturan begitu. Jadi, setiap mereka yang gagal memenuhi 25% itu, kan bisa ketahuan, setiap perusahaan kataknya produksinya 10 juta ton, kan di DMO uda jelas 2,5 juta ton. Kalau 1 juta ton berarti DMO 250.000 ton, itu dievaluasi tiap tiga bulan dia tidak memenuhi, ya untuk tiga bulan berikutnya dia tidak bisa ekspor," kata Fabby.
Saat ini, sanksi kewajiban pasok diatur dalam Keputusan Menteri (Kepmen ESDM Nomor 139.K/HK.02/MEM.B/2021 tentang Pemenuhan Kebutuhan batubara. Dalam beleid tersebut, sanksi DMO kembali diperketat.
Sanksi yang dimaksud berupa larangan ekspor, kewajiban pembayaran atau denda, hingga dana kompensasi. Sanksi tersebut akan dikenakan, bila tidak memenuhi ketentuan DMO 25 persen bagi penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dan kepentingan sendiri, dan bahan baku atau bahan bakar industri.
Di lain sisi, Fabby menyarankan agar pemerintah perlu merevisi regulasi DMO. Karena pangkal masalah krisis batubara juga terletak pada regulasi. Pasalnya, regulasi saat ini membuat disparitas harga antar DMO dan non DMO.
"Selain masalah teknis yang berkaitan dengan logistik, nilai kalor batubara, dan produksi perusahaan itukan ada faktor disparitas harga antar DMO dan non DMO tinggi sekali. Itu kan membuat penambang melakukan profit tracking, lebih baik kita jual ke luar negeri daripada kita supply ke PLN," tutur Fabby.