Jachinta melanjutkan, sentimen negatif tersebut akan berujung pada semakin buruknya likuiditas LPKR. Dengan begitu, risiko terhadap surat utang semakin naik yang ditandai dengan meningkatnya rasio imbal hasil (yield) terhadap maturitas untuk surat utang berdenominasi dolar AS.
"Pada 17 Oktober, rasio imbal hasil terhadap maturitas Lippo Karawaci untuk surat utang 2022 dan 2026 rata-rata naik 8 persen sejak diterbitkan pertama kali. Ini artinya, Lippo Karawaci harus membayar bunga lebih tinggi karena refinancing utang akan jatuh tempo dalam 12-18 bulan ke depan," tulisnya.
Jachinta menyebut, surat utang LPCK kebanyakan bertenor jangka panjang dibandingkan perusahaan sejenis. Namun, ada utang jatuh tempo sebesar Rp1,3 triliun yang harus dibayar kepada investor pada 2018 dan 2019.
Angka tersebut termasuk kredit perbankan yang mencapai Rp590 miliar dan sindikasi kredit senilai 50 juta dolar AS yang diberikan UBS AG dan Deutsche Bank. Sindikasi kredit itu semestinya jatuh tempo September 2018, namun diperpanjang hingga April 2019.
"Kami memperkirakan beban bunga yang harus ditanggung meningkat sekitar 6 persen atau Rp60 miliar, yang akan menambah tekanan pada Lippo Karawaci yang likuiditasnya sudah rapuh, mengingat tingkat cash burn-nya masing-masing sekitar Rp1,1 triliun dan Rp1,3 triliun pada 2018 dan 2018," ucapnya.