Perusahaan juga mengatakan bahwa pihaknya dilarang oleh regulator China untuk menerbitkan obligasi dolar baru. Padahal, ini merupakan bagian penting dari rencana restrukturisasi utang. Selain itu, perusahaan juga membatalkan pemungutan suara yang direncanakan oleh para kreditur mengenai rencana restrukturisasi, yang semula dijadwalkan pada akhir bulan lalu.
Sebagian besar utang Evergrande berasal dari warga China, banyak di antaranya adalah warga negara biasa yang rumahnya belum selesai dibangun. Ketika perusahaan tersebut gagal membayar utangnya yang besar pada tahun 2021, hal ini menimbulkan kejutan di pasar keuangan global karena sektor properti menyumbang sekitar seperempat perekonomian China.
Beberapa perusahaan real estate besar lainnya di negara tersebut telah mengalami gagal bayar selama setahun terakhir dan banyak yang kesulitan mendapatkan uang untuk menyelesaikan pembangunan.
Evergrande sekarang memiliki waktu lima minggu untuk membuat rencana pembayaran kembali yang disetujui oleh para krediturnya. Namun, hal ini gagal dilakukan dalam dua tahun terakhir.
Hingga saat ini, kelangsungan hidup perusahaan ini sebagian besar bergantung pada kenyataan bahwa sebagian besar utangnya berasal dari pemberi pinjaman di China, yang memiliki jalur hukum terbatas untuk mendapatkan kembali uang mereka.
Sebaliknya, kreditur di luar China daratan berhak mengajukan tuntutan hukum terhadap perusahaan tersebut. Hal inilah yang dilakukan Top Shine sekaligus yang bisa memicu perintah likuidasi pengadilan.