"Jadi dalam konteks ini, kita akan lihat dampaknya. Kalau seandainya pengetatannya cepat dan tinggi, maka dampak terhadap perlemahan ekonomi global akan terlihat spillovernya ke seluruh dunia, dan kedua, asumsi terhadap inflasi dan nilai tukar akan menghadapi kemungkinan terjadinya hal tersebut," kata Sri Mulyani.
Menurut dia, dalam pembahasan secara teknis mengenai masalah growth dan tantangan global ini, semuanya sepakat bahwa persoalan inflasi di dunia saat ini kontribusi dari sisi produksi atau supply lebih dominan dibandingkan kontribusi dari sisi permintaan.
Implikasi kebijakannya adalah jika kebijakan makro yaitu fiskal dan moneter terlalu cepat atau ketat, yang tujuannya akan lebih cepat mempengaruhi sisi demand, sebenarnya tidak menyelesaikan masalah dari sisi supply.
"Ini karena masalah awalnya terletak di sisi supplynya, yang pasokannya terkena disrupsi karena perang maupun karena pandemi, Ini akan menjadi tema terus menerus dari sekarang hingga tahun 2023 karena dinamika demand dan supply serta instrumen mana yang dianggap paling pas untuk bisa menyelesaikan potensi terjadinya stagflasi tanpa menimbulkan risiko ekonomi yang sangat besar. Ini yang akan menjadi tema di dalam kebijakan makro dan mikro, bahkan ke sektoral," tutur Sri Mulyani.
Meski demikian, Menkeu tetap optimis bahwa di tahun 2023 momentum pemulihan ekonomi tetap berjalan di tengah-tengah berbagai risiko dan tantangan ekonomi global.