Bambang menjelaskan penghitungan kerugian ekologi dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran atau Kerusakan Lingkungan.
Namun, terkait dengan kerugian negara akibat kerusakan ekologi, Andri mengatakan bahwa penghitungan harus dilakukan oleh lembaga yang memiliki kewenangan hukum. Kemudian harus diperiksa metodenya, lazim digunakan atau tidak, diterima di komunitas ilmiah atau tidak.
“Ini kan bukan seperti menghitung barang atau mobil yang hilang. BPK juga belum tentu punya kemampuan untuk menghitung kerusakan lingkungan. Ada namanya teknik evalusi lingkungan dan itu ada pakarnya,” kata pria yang juga menjabat sebagai Ketua Center for Environmental Law and Climate Justice (CELCJ).
Untuk menilai kasus tata niaga timah, Andri mengaku harus melihat detail kasusnya. Secara normatif, menurut Andri, ada dua bentuk kerugian yakni kerugian negara yang berkaitan dengan APBN/ APBD dan perekonomian perekonomian negara seperti terjadi dalam kasus sawit Duta Palma Group.
“Buktikan dulu korupsinya. Tidak berarti ada pencemaran terus ada korupsi kan. Korupsi bisa berdampak ABCD, salah satunya kerusakan lingkungan,” tutur dia.