Dia menilai kehadiran UU Nomor 37/2004 seharusnya ditujukan untuk melindungi debitur yang mengalami kendala dalam berusaha atau berbisnis. Melalui UU tersebut, debitur yang mengalami kesulitan dalam berusaha sehingga terkendala dalam menunaikan kewajiban pembayaran utangnya kepada kreditur, dapat mengajukan skema PKPU.
Namun saat ini, lanjutnya, UU Kepailitan dan KPPU justru dijadikan alat atau skema hukum untuk melakukan penagihan utang oleh kreditur kepada debitur. Akibatnya, mayoritas permohonan PKPU dan pailit di Indonesia justru lebih banyak datang dari kreditur.
“Kalau berangkat dari fenomena saat ini, ketika utang belum terbayar 2 bulan sudah dimohonkan PKPU, lalu utang Rp100 juta belum terbayar sudah diajukan PKPU. Ini akhirnya jadi moral hazard. Seharusnya kita lihat dulu kondisi perusahaan debitur dan kondisi ekonomi saat ini. Supaya jangan sedikit-sedikit digugat PKPU atau pailit,” tutur Rizky.
Untuk itu, dia menilai revisi UU Nomor 37 Tahun 2004 mendesak dilakukan, agar sesuai dengan perkembangan zaman dan kondisi perekonomian saat ini, sehingga iklim usaha Indonesia semakin menarik.
Sementara Presiden Direktur AJ Capital, Geoffrey D. Simms, mengatakan dalam sistem ekonomi yang semakin kompleks dan terhubung (melampaui batas negara), hukum atau peraturan harus dapat memberikan rasa keadilan dan perlindungan yang sama, baik bagi kreditur maupun debitur.