“Konsumen tidak peduli dengan verifikasi dari pihak ketiga. Mereka peduli pada praktik penipuan, berita hoaks, dan pengaruh Rusia dalam pemilu AS. Mereka tidak peduli pada nilai-nilai bagi pengiklan. Tapi mereka peduli ketika mereka melihat brand mereka diletakkan di sebelah iklan yang mendanai terorisme atau mengeksploitasi anak-anak,” ucapnya.
Unilever telah mengurangi belanja iklan sebagai upaya untuk memotong biaya di seluruh perusahaannya di seluruh dunia. Google dan Facebook diperkirakan menguasai lebih dari 50 peren pangsa pasar iklan digital dunia pada 2017 dan menguasai lebih dari 60 pangsa pasar di AS.
Pernyataan Weed ini memperkuat gaung kritik terhadap media sosial yang pernah dilontarkan Procter & Gamble pada tahun lalu. Mark Pritchard, Chief Brand Office Procter & Gamble menuding adanya ‘tangan-tangan’ palsu yang mengklik iklan di platform digital lewat bot otomatis. Selain itu, beriklan di platform media sosial juga memiliki risiko posisi iklan berada di samping video rekrutmen ISIS.
Pritchard juga mengatakan, hanya 25 persen belanja iklan yang menyentuh langsung konsumer sementara sisanya bekerja dalam ruang buram dan tidak transparan dengan mata rantai yang curang di industri digital.
Pada bulan lalu, sejumlah pejabat Facebook datang ke Eropa terkait dengan kritikan otoritas Uni Eropa yang menyebut perusahaan teknologi itu lamban dalam menangani penyalahgunaan di platformnya, sehingga menyalahi aturan ujaran kebencian di wilayah tersebut.
“Kami memang berinvestasi terlalu banyak membangun pengalaman baru, tapi kurang berinvestasi untuk mencegah penyalahgunaan,” kata Elliot Schrage, Kepala Komunikasi dan Kebijakan Publik Facebook saat jumpa pers di Munchen, beberapa waktu lalu.