Dengan begitu, saat mengajukan pinjaman dan pihak fintech P2P mengajukan ketentuan yang tidak sesuai aturan dapat langsung dilaporkan tanpa harus menunggu kejadian yang merugikan. Selain itu, dari sisi perusahaan fintech P2P juga harus mengutamakan nasabah dengan tidak memberikan ketentuan yang memberatkan nasabah. Untuk hal ini, OJK telah mengatur ketentuannya agar nasabah terlindungi.
"Perusahaan fintech kita sarankan untuk melindungi kepentingan masyarakat, transparan. Sebelum (fintech P2P dapat) izin, daftarkan dulu baru nanti kita gaet, kita kasih tahu kaidah-kaidanya, setelah memenuhi persyaratan baru kita kasih," ucapnya.
Hingga saat ini, OJK mencatat terdapat 73 penyedia fintech P2P yang telah terdaftar di OJK. Namun, baru satu fintech P2P yang telah mengantongi izin. Berdasarkan data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, sejak Mei 2018 ada 238 aduan kasus fintech P2P lending ilegal. Mayoritas laporan berisi aduan nasabah yang diancam saat ditagih pinjaman oleh fintech P2P lending ilegal.
Sebelumnya, Wakil Dewan Komisioner OJK Nurhaida mengatakan, OJK memiliki sanksi bagi fintech p2p lending yang nakal ini. Kasus-kasus yang tidak ditangani merupakan persoalan baru yang tidak dapat disanksi dengan aturan yang ada
"Kita sudah punya peraturan bagaimana sanksi bagi mereka yang melanggar. Secara berkembang yang belum tercover karena belum masuk dalam ketentuan tertentu itu saya rasa itu ada beberapa," ujarnya di Gedung Wisma Mulia 2, Jakarta, Selasa (13/11/2018).
Oleh karenanya tidak semua aduan dari nasabah dapat diselesaikan oleh OJK karena terkendala pada aturannya. Apalagi jika aduan berupa tindakan kriminal yang dilakukan pihak fintech p2p lending.