JAKARTA, iNews.id - Ketidakpastian global yang menimbukan gejolak pada pasar keuangan membuat Bank Indonesia (BI) bekerja keras menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI, Edi Susianto, mengatakan sejauh ini depresiasi nilai tukar Rupiah masih lebih kecil dibandingkan dengan sejumlah negara berkembang lainnya.
Meski demikian, BI tetap mengantisipasi berbagai perkembangan eksternal. Hal itu, tidak terlepas dari konsistensi Bank Indonesia dalam memonitor dan berada di pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah, sesuai dengan fundamental dan mekanisme pasar, serta persepsi investor asing yang tetap positif terhadap prospek perekonomian Indonesia.
Terkait dengan itu, lanjutnya, kebijakan suku bunga acuan Bank Indonesia, BI7DRR, tetap dilakukan secara moderat, meskipun mengalami kenaikan sejak Agustus 2022. Kebijakan itu sebagai langkah front loaded, pre-emptive, dan forward looking untuk memastikan terjaganya stabilitas inflasi ke depan.
Sampai dengan sekitar pertengahan tahun 2022, inflasi inti masih terus terjaga pada level yang rendah di bawah 3 persen (yoy), sejalan dengan masih terbatasnya dampak inflasi dari sisi permintaan, ekspektasi inflasi yang terjangkar, stabilitas nilai tukar yang terjaga, serta dukungan kebijakan fiskal dalam menjaga harga BBM bersubsidi.
Dengan masih rendahnya tekanan inflasi inti dan perbaikan ekonomi nasional yang masih berada pada tahap awal pemulihan ekonomi nasional, Bank Indonesia tetap mempertahankan suku bunga kebijakan BI7DRR rendah sebesar 3,50 persen.
Dengan intensitas ketidakpastian global yang terus meningkat, kenaikan harga energi dan pangan global juga berlanjut sehingga mulai berdampak pada kenaikan inflasi inti dan perkiraannya ke depan.
Merespons peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi sebagai dampak rambatan dari kenaikan inflasi volatile food dan penyesuaian harga BBM, Bank Indonesia mulai menaikkan BI7DRR sebesar 25 bps pada Agustus 2022.
Kebijakan tersebut diperkuat dengan kembali menaikkan BI7DRR pada September 2022, Oktober 2022, dan November 2022, masing-masing sebesar 50 bps menjadi 5,25 persen, untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang masih terlalu tinggi (overshooting) dan memastikan agar inflasi inti ke depan dapat segera kembali ke dalam sasaran 3+1 persen pada paruh pertama 2023.