JAKARTA, iNews.id - Tarif impor Trump untuk negara ASEAN menjadi isu penting yang harus mendapatkan perhatian serius dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump sejak April 2025 ini membawa dampak signifikan terhadap perdagangan dan ekonomi ASEAN, terutama di tengah ketegangan perang dagang antara AS dan China.
Dilansir dari berbagai sumber, berikut pembahasan tarif impor Trump untuk negara ASEAN, serta strategi yang dapat ditempuh oleh ASEAN untuk menghadapi tantangan tersebut.
Pada 2 April 2025, Presiden Donald Trump mengumumkan serangkaian tarif yang menargetkan beberapa negara ASEAN, secara signifikan menaikkan bea masuk impor pada mitra dagang regional utama. Kebijakan ini diberlakukan sebagai bagian dari strategi ekonomi yang disebut "Liberation Day" untuk menekan perekonomian negara-negara tersebut dan memperbaiki defisit perdagangan AS.
Berikut adalah besaran tarif impor Trump untuk beberapa negara ASEAN berdasarkan pengumuman resmi:
Singapura dan Filipina dikenakan tarif dasar yang lebih rendah sekitar 10 persen. Kebijakan tarif ini dipicu oleh tuduhan ketidakadilan dalam perdagangan internasional, misalnya Indonesia dikenakan tarif 32 persen karena tarif impor etanol di Indonesia lebih tinggi dibanding AS.
Tarif impor Trump membawa dampak yang cukup besar bagi negara-negara ASEAN, terutama yang sangat bergantung pada ekspor ke Amerika Serikat. Negara-negara seperti Vietnam dan Kamboja yang memiliki surplus perdagangan besar dengan AS menjadi yang paling terdampak karena tarif yang tinggi.
Dampak utama yang dirasakan meliputi:
Meskipun tarif ini menjadi tantangan besar, ASEAN diperkirakan tidak akan runtuh. Blok ini memiliki kerangka kelembagaan seperti Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC) yang membantu menjaga ketahanan ekonomi regional.
Para ahli memberikan analisis mendalam mengenai dampak dan prospek ASEAN menghadapi tarif impor Trump:
Seperti dilansir TheStar, Dr. Phar Kim Beng, profesor Studi ASEAN di International Islamic University of Malaysia (IIUM), menilai bahwa meskipun tarif ini memberikan tekanan ekonomi, ASEAN tidak akan runtuh karena telah berhasil melewati berbagai guncangan sebelumnya seperti Krisis Keuangan Asia 1997 dan perang dagang AS-China.
Namun, ia menyoroti risiko perpecahan dalam ASEAN jika negara-negara dengan tarif tinggi seperti Vietnam dan Kamboja memilih negosiasi bilateral terpisah dengan AS, yang dapat mengancam solidaritas blok. Ia juga mengingatkan bahwa dampak paling langsung adalah tekanan inflasi global yang akan mempengaruhi harga konsumen di berbagai negara.
Direktur Eksekutif Asian Trade Deborah Elms, mengungkapkan bahwa gangguan rantai pasok akibat tarif ini akan menimbulkan tekanan inflasi jangka panjang, terutama pada industri yang sangat bergantung pada perdagangan global.
Ia menekankan pentingnya ASEAN memanfaatkan perjanjian perdagangan seperti RCEP dan CPTPP untuk memperkuat pasar internal dan mengurangi ketergantungan pada AS.
Jeff Friedman, pakar kebijakan perdagangan dari Universitas Harvard, memperingatkan bahwa tarif balasan dari ASEAN dapat memperdalam spiral inflasi global, sehingga menimbulkan dampak negatif tidak hanya bagi ASEAN tetapi juga bagi ekonomi AS sendiri.