"Pula, 2020 merupakan tahun puncak himpitan pandemi Covid-19 terjadi. Saya jelaskan ya. Di tahun 2020 ekonomi melambat, penerimaan tertekan, tapi disisi lain kita harus meningkatkan belanja untuk penanggulangan Covid-19 dan pemulihan ekonomi. Konsekuensinya: Defisit APBN melebar. Hari ini kita bisa menilai secara objektif Perppu 1/2020 itu terobosan penting," ujar Yustinus.
Dia mengungkapkan, memasuki tahun 2023, pandemi beralih ke fase endemi dimana aktivitas bergeliat. Berbagai indikator makroekonomi dan keuangan negara mengalami perbaikan, seperti pertumbuhan ekonomi.
Terkait dengan itu, Yustinus menilai data tahun 2020 tidak relevan jika dijadikan bahan diskusi mengenai utang negara dan pengelolaannya di saat ini.
"Bahkan jika kita perhatikan pada dokumen yang sama, perbandingan rasio utang atas PDB Indonesia termasuk yang paling rendah di antara negara-negara ASEAN lainnya yakni 39,4 persen, lebih rendah dari Malaysia, Singapura, Thailand. Pentingnya membaca komprehensif ya," ungkap Yustinus.
Melanjutkan amanat UU, pemerintah melakukan konsolidasi fiskal menuju tingkat rasio defisit kembali di bawah 3 persen PDB di tahun 2023, termasuk melanjutkan upaya reformasi perpajakan dalam rangka meningkatkan pendapatan negara, antara lain melalui penerbitan UU HPP secara disiplin.
"Pinjem Farel dan Abah Lala: kita harus adil dalam membanding-bandingkan. Setiap rezim pasti meninggalkan utang, pun juga kenaikan nilai aset, PDB, dan belanja negara. Nah, sesekali liriklah data ini. Biar enggak mikir utang melulu. Belanja, aset, PDB kita meningkat signifikan," tambah Yustinus.