Syukur mengatakan, masalah distribusi menjadi alasan mengapa harga jagung meningkat. Hal ini karena sebaran waktu dan lokasi produksi jagung yang bervariasi, di samping juga pabrikan pakan ternak tidak berada di sentra produksi jagung, sehingga perlu dijembatani antara sentra produksi dengan pengguna agar logistiknya murah.
"Kita ambil contoh, biaya transportasi dari Pelabuhan Tanjung Priok ke Tanjung Pandan, Belitung biayanya lebih mahal dibandingkan kalau kita melakukan penjualan ekspor ke malaysia, dari Pelabuhan Priok ke Pelabuhan Port Klang, Malaysia," tuturnya.
Untuk transportasi dari Tanjung Priok ke Pelabuhan Tanjung Pandan, tiket untuk mobil angkut dengan kapasitas 14 ton sebesar Rp33 juta. Biaya ini belum termasuk biaya solar mobil dan biaya lainnya.
Sementara dari Tanjung Priok ke Pelabuhan Port Klang, Malaysia dengan kapasitas 24-27 ton hanya membutuhkan biaya USD1.750 atau sekitar Rp26 juta. Biaya tersebut tersebut sudah termasuk dengan pengurusan semua dokumen.
"Ini yang terjadi, perbedaan biaya transportasi tujuan penjualan pasar domestik dan tujuan ekspor. Jadi yang menjadi persoalan karena biaya distribusi yang menjadi kendala," katanya.
Sekedar diketahui, impor jagung diputuskan dalam rapat koordinasi terbatas (rakortas) yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution yang berlangsung di kantornya, Jumat (2/11/2018). Rapat ini dihadiri Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, Menteri Perdagangan Enggartiasto, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno, serta Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas). (Yohana Artha Ully)