"Pengalaman empiris menunjukan setiap memasuki bulan Ramadan akan terjadi lonjakan harga hampir semua kebutuhan masyarakat, dengan penambahan tarif PPN maka harga barang akan meningkat lebih tinggi lagi," ucapnya.
Dia menuturkan, kenaikkan PPN di tengah pemulihan ekonomi juga kurang tepat, apalagi saat ini inflasi dalam tren meningkat. Kenaikan PPN akan menambah tekanan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat.
"Padahal kita mengetahui bersama bahwa sekitar 75 persen pertumbuhan ekonomi dikontribusikan oleh konsumsi masyarakat. Dengan menaikan PPN akan kontra produktif dengan usaha pemerintah dalam pencapaian pertumbuhan 2022 sebesar 5,2 persen," tuturnya.
Dengan pertimbangan tersebut, politikus Partai Demokrat ini meminta pemerintah perlu lebih arif dan bijaksana dalam menetapakan waktu berlakunya kenaikan tarif PPN. Pemerintah tidak harus memaksakan pemberlakukan tarif PPN 11 persen mulai 1 April 2022 dengan alasan melihat gejolak harga pangan yang terus meningkat dan bertepatan dengan bulan Ramadan, serta proses pemilihan ekonomi yang sedang berlangsung. Dan hal itu dimungkinkan dengan menggunakan ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU HPP.
"Pemerintah dapat menggunakan dasar hukum UU HPP pasal 7 ayat (3) yang menyatakan bahwa tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen. Artinya kebijakan ini dapat menyesuaikan dengan kondisi ekonomi," katanya.
Marwan mengakui, penundaan tersebut memang akan memberikan konsekuensi berkurangnya potensi penerimaan pemerintah, yang diproyeksikan dengan kenaikan tarif PPN akan menambah penerimaan pajak sekitar Rp41 triliun. Penundaan penetapan PPN juga akan memberikan konsekuensi melebarnya defiisit APBN.
"Namun pemerintah dapat mengefektifkan penerimaan pajak dari hasil pelaksanaan program pengampunan sukarela wajib pajak yang mulai berlaku 1 Januari sampai dengan 30 Juni 2022," ujarnya.
Karena keputusan penetapan waktu pelaksanaan kenaikan PPN sepenuhnya ada di pemerintah, Marwan mengingatkan pemerintah juga harus mencermati realitas kehidupan masyarakat dan mempertimbangkan secara seksama dampak pemberlakuan kenaikan PPN ini.
"Jika dipaksakan akan semakin menekan laju daya beli masyarakat dan memicu inflasi dan akan menghambat percepatan pemulihan ekonomi nasional," ujar legislator Dapil Lampung II ini.
Adapun berdasarkan Undang-undang No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mengamanatkan mulai 1 April 2022, tarif PPN akan meningkat menjadi 11 persen. Kenaikan tersebut merupakan bagian program pemerintah untuk menaikan penerimaan perpajakan, dan yang lebih khusus adalah persiapan pemerintah dalam melakukan konsoliidasi fiskal 2023.