Kekecewaan karena belum tercapainya kesepakatan membuat obligasi Sri Lanka turun antara 2,3 dan 2,8 sen, sehingga nilai obligasinya hanya setengah dari nilai aslinya yaitu antara 53 dan 55 sen terhadap dolar.
Seperti diketahui, Sri Lanka terjerumus ke dalam krisis keuangan terburuk sejak kemerdekaannya dari Inggris pada 1948 setelah cadangan devisanya turun pada awal tahun 2022 sehingga tidak mampu membayar kebutuhan pokok termasuk bahan bakar, gas untuk memasak, dan obat-obatan.
Negara ini gagal membayar utang luar negerinya pada Mei 2022 dan memulai negosiasi dengan kreditor bilateral beberapa bulan kemudian, yang akhirnya mencapai kesepakatan prinsip dengan China, India, dan Paris Club pada November lalu.
Sri Lanka juga memerlukan perjanjian dengan masing-masing kreditor bilateral, termasuk Bank Ekspor-Impor China, untuk menyelesaikan proses peninjauan IMF.
Didukung oleh program IMF, inflasi Sri Lanka yang pernah melonjak menjadi 0,9 persen pada Maret dan mata uangnya menguat 7,6 persen sepanjang tahun ini. Perekonomian diperkirakan akan kembali tumbuh setelah mengalami kontraksi 2,3 persen pada 2023.
Negara ini adalah salah satu dari beberapa negara miskin yang dilanda krisis utang dalam beberapa tahun terakhir dan sedang berjuang untuk melupakan krisis tersebut.