Pengusaha nikel sebelumnya mengatakan bahwa dilarangnya ekspor nikel akan membuat industri ini merugi sekitar Rp50 triliun. Luhut mengklaim, kerugian tersebut tidak akan sebanding dengan keuntungan yang didapat dari hilirisasi.
Dengan didorongnya hilirisasi, ekspor komoditas turunan nikel diproyeksi dapat mencapai 6 miliar dolar AS atau setara Rp86 triliun (asumsi kurs Rp14.000 per dolar AS).
"Gain-nya (setop ekspor nikel) sampai 6 miliar dolar AS itu bisa sampai pada tahun 2024 itu sampai pada tataran dengan turunannya, Lapangan kerja bisa lebih 100.000," ujar dia.
Selain itu, dilarangnya ekspor nikel akan menarik minat para investor smelter. Luhut menghitung nilai investasi smelter yang akan didapat sampai dengan 2024 mencapai 35 miliar dolar AS atau setara Rp490 triliun.
"Ini bakal membiasakan ekspor dengan nilai tambah, bukan sekedar ekspor mentah. Diperkirakan kebijakan ini bisa memancing investasi hingga senilai 35 miliar dolar AS," ucapnya.
Sebagai informasi, dihentikannya ekspor nikel karena cadangannya bahan tambang ini semakin menipis. Berdasarkan laporan Kementerian ESDM cadangan nikel siap tambang sebesar 700 juta ton atau hanya cukup dalam kurun waktu 7-8 tahun ke depan sedangkan untuk cadangan terkira nikel sebesar 2,8 miliar ton.
Tidak hanya itu, alasan pemerintah menghentikan ekspor nikel guna mendukung kebijakan mobil listrik nasional. Pasalnya bahan baku baterai mobil listrik menggunakan bijih nikel.