Dalam mencapai komitmen ini, lanjutnya, Indonesia tidak bersikap patuh untuk memuaskan pihak-pihak lain, tetapi karena Indonesia menyadari perubahan iklim adalah ancaman yang serius bagi rakyatnya sendiri. Perubahan iklim ini juga menimbulkan konsekuensi tersendiri bagi populasi Indonesia.
"Jadi pada akhirnya ini juga untuk memenuhi kebutuhan pembangunan Indonesia. Untuk mencapai NDC, akan butuh financing, dan itu bukanlah nominal finance yang kecil dan trivial, estimasinya jika kita ingin mengurangi emisi karbon sebesar 29 persen, kontribusi dari sektor energi dan perusahaan listrik adalah sebanyak 314 juta ton reduksi karbon. Ini adalah yang terbesar kedua setelah kehutanan," papar Sri Mulyani.
Dia menuturkan, jika ingin di-scale up lagi ke reduksi sebesar 41 persen, maka sektor energi perlu menurunkan emisi karbon sebesar 446 juta ton. "Nominal ini, sangat sangatlah besar," ujar Sri Mulyani.
Menkeu mengungkapkan, Indonesia sebagai tuan rumah dari Presidensi G20 juga menempatkan aspek keuangan berkelanjutan (sustainable finance) sebagai salah satu dari topik terpenting yang harus didiskusikan antara para menteri keuangan dan gubernur bank sentral.
Keuangan berkelanjutan tidak hanya membicarakan soal afordabilitas dari komitmen perubahan iklim, tetapi aspek ekualitas atau keadilan. Ini konsisteny dengan prinsip UNFCCC, common but differentiated responsibility.
"Untuk negara seperti Indonesia yang memiliki hutan tropis yang sangat luas, Indonesia tentunya akan dicermati dalam manajemen hutan tropis tersebut. Untuk negara seluas Indonesia yang masih dalam tahap pembangunan, terus mendorong pengurangan kemiskinan dengan mendorong pertumbuhan dan menciptakan lapangan kerja, ditambah dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, Indonesia tentunya membutuhkan energi listrik yang besar," tutur Sri Mulyani.