"Menaikkan FFR mereka hanya mempercepat krisis, bubble-nya akan pecah. Tapi kalau mereka tidak menaikkan FFR pada akhirnya hanya menahan krisis jadi membuat bubble-nya semakin besar. Maka sebagai pilihan yang juga tidak terlalu bagus mereka melakukan balance sheet reduction atau quantitative tightening," ucapnya.
Namun, kebijakan ini ternyata sama berisikonya dengan kebijakan menaikkan FFR. Pasalnya, meski tidak secepat risiko yang diberikan FFR tapi balance sheet reduction bisa mengancam pasar obligasi dan saham.
"Mungkin tidak straight forward seperti suku bunga karena suku bunga langsung ditangkap pasar jadi ketika suku bunga diketatkan pasar langsung merespons. Sedangkan balance sheet reduction kan memang sudah dilakukan beberapa kali jadi tidak terlalu terlihat sama pasar karena sedikit-sedikit tapi dilakukan secara konsisten," kata dia.
Risiko terjadi karena pengurangan aset yang dilakukan The Fed akan membuat harga obligasi turun. Hal ini akan menyebabkan suku bunga obligasi naik terutama untuk obligasi jangka pendek.
"Kenaikan suku bunga mempunyai risiko krisis terjadi lebih cepat. Tapi dengan metode seperti ini saya tidak meliat bahwa mereka bisa menunda krisis, malah punya potensi hancurkan obligasi dan pasar saham," tuturnya.