Menurut Rahma, pada tahap ini anak cenderung bersikap egosentris hingga ada kecenderungan untuk membandingkan dirinya dengan orang lain, seperti saat dia melihat temannya melakukan sesuatu yang tidak dilakukan.
Maka, lanjutnya, akan muncul perasaan rendah diri, oleh karena itu anak diajak untuk peka pada keadaan sekitar. Salah satunya saat nanti pembelajaran tatap muka, anak harus dapat bersikap beradaptasi dengan situasi yang ada saat ini.
"Misalnya, untuk taat prokes, menjaga kesehatan dan tetap fokus untuk belajar. Anak diajak juga untuk dapat bersikap mandiri saat di sekolah," katanya.
Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan di JAMA Pediatrics Journal dan dilakukan di Hubei China, serta melibatkan 2.330 anak sekolah, membuktikan anak-anak usia sekolah yang mengalami karantina proses belajar akibat Covid-19 menunjukkan beberapa tanda-tanda tekanan emosional.
"Karena selama ini biasanya dilayani di rumah, jadi pada saat sekolah maunya dilayani juga, kemudian merasa dirinya lebih dibandingkan anak lain," kata Rahma.
Bahkan, penelitian lanjutan dari observasi tersebut menunjukkan 22,6% dari anak-anak yang di observasi mengalami gejala depresi dan 18,9% mengalami kecemasan.
Hasil survei yang dilakukan oleh pemerintah Jepang juga menunjukkan hasil yang serupa, yaitu 72% anak-anak Jepang merasakan stres akibat Covid-19.
Hal serupa juga terjadi di Amerika Serikat. Investigasi yang dilakukan oleh Centre for Disease Control (CDC) menunjukkan 7,1% anak-anak dalam kelompok usia 3 sampai 17 tahun telah didiagnosis dengan kecemasan, dan sekitar 3,2% pada kelompok usia yang sama menderita depresi.