JAKARTA, iNews.id - Kita sering mendengar istilah mager atau malas bergerak. Ternyata, hal ini dapat berdampak pada kesehatan jika kemageran ini dijadikan gaya hidup.
Gaya hidup mager juga disebut sebagai sedentary lifestyle, sebuah istilah dari bahasa Latin yang artinya gaya hidup kurang gerak. Sejumlah penelitian membuktikan bahwa kurang gerak ini ada hubungannya dengan masalah kesehatan yang akan datang.
Di Indonesia sendiri gaya hidup sedentari telah diterapkan sebagian kecil masyarakat. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 Kementerian Kesehatan menunjukkan, sebanyak 24,1 persen penduduk Indonesia menjalani gaya hidup sedentari lebih dari enam jam sehari.
Dr. Ade Tobing, SpKo selaku Spesialis Kedokteran Olahraga mengatakan, gaya hidup mager tersebut dapat meningkatkan risiko terkena penyakit tak menular berbahaya, seperti stroke, penyakit jantung, dan diabetes mellitus.
"Data dari World Health Orgazation (WHO) mencatat, lebih dari 60 persen penyebab kematian di dunia adalah akibat penyakit tidak menular," kata Dr. Ade dalam acara Kampanye "Ayo Indonesia Bergerak" dari Anlene di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (11/4/2018).
Gaya hidup sedentari sendiri telah meningkat atau menjadi tren di zaman digital yang memudahkan masyarakat dalam melakukan berbagai aktivitas. "Penelitian dari Lepp tahun 2013, ternyata ada hubungannya antara smartphone, aktivitas fisik, dan kebugaran jantung," tuturnya.
Aktivitas fisik, sambung dr. Ade, adalah sebuah gerakan tubuh yang terjadi akibat kontraksi otot rangka. Contohnya, melakukan aktivitas sehari-hari seperti berbelanja, melakukan pekerjaan rumah tangga, bekerja, atau berjalan.
Namun di zaman serba mudah ini, ada beberapa kegiatan sehari-hari itu yang hilang dan diganti dengan waktu screen time, yaitu duduk dan memegang smartphone untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
"Semakin canggih sistem, semakin banyak orang yang tidak aktif. Ada perubahan pola hidup di sini," ucapnya.
Penyakit tak menular lain mengintai mereka yang menjalani gaya hidup mager atau gaya hidup sedentary, antara lain obesitas, diabetes, hipertensi, heart disease, osteoporosis, osteoarthritis, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) hingga kanker.
"Maka itu, penting untuk melakukan 30 menit aktivitas fisik plus 60 menit latihan fisik. Antara aktivitas dan latihan fisik harus seimbang dan teratur," ucapnya.
Latihan fisik, misalnya, menurut dr. Ade, idealnya dapat mewakili tiga kategori, di antaranya cardiorespiratory fitness, stretching, dan strengthening yang tak selalu bisa dilakukan di ruang outdoor, tetapi bisa di rumah dan dilakukan di waktu senggang.
"Latihan fisik dapat dilengkapi dengan olahraga teratur, seperti aerobik, yoga, atau pilates yang akan membantu kesehatan tulang, sendi, dan otot," ucapnya.