Mantan Direktur Riset Kebijakan dan Kerja Sama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sekaligus akademisi dari National University of Singapore, Tikki Pangestu, sebelumnya mengatakan, penggunaan bukti ilmiah dalam penyusunan kebijakan kesehatan belum menjadi pertimbangan utama di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Kajian ilmiah seringkali dikalahkan oleh opini dan nilai-nilai subjektif lainnya.
“Bahkan ideologi mengalahkan fakta, kebenaran, dan bukti ilmiah,” kata dia belum lama ini.
Tikki menambahkan kondisi tersebut terjadi karena tiga alasan. Pertama kurangnya bukti ilmiah yang mendalam dan relevan. Jika ada, jumlahnya terbatas, kurang komprehensif, dan tidak sesuai dengan kebutuhan pembuat kebijakan. Kedua, keterbatasan literasi ilmiah di kalangan para pembuat kebijakan. Terakhir, bukti ilmiah harus bersaing dengan nilai-nilai lainnya seperti tekanan politik dan keterbatasan sumber daya.
“Kendati penting membedakan pendapat dan fakta, namun yang lebih penting adalah memastikan fakta dipakai untuk membentuk kebijakan yang memperbaiki, bukan hanya kualitas kesehatan, tetapi juga kesetaraan kesehatan, terutama di negara berkembang. Pada akhirnya, semua ini bermuara pada seberapa besar kita menilai pentingnya sebuah penelitian ilmiah,” tuturnya.