Dari ketiga vaksin di atas, sejumlah negara telah memberikan lampu hijau untuk penggunaan vaksin Pfizer-BionTeceh mengingat tingkat persentase khasiatnya yang mencapai 95 persen. Bahkan, China yang mempunyai vaksin sendiri juga memesan vaksin Pfizer.
“Dengan teknologi mRNA, keuntungan yang jelas adalah bahwa sejumlah besar vaksin dapat diproduksi dengan cepat, tanpa menggunakan kultur sel dan zat yang berpotensi beracun lainnya,” ujar Deputi Direktur Kepala Imunologi Institut Virologi dan Imunologi Swiss, Profesor Artur Summerfield.
“Secara umum, hasil yang dipublikasikan sejauh ini menunjukkan terdapat reaksi antibodi yang baik, serta respons imun seluler yang baik. Keduanya penting melawan virus," katanya lagi.
Meski mempunyai khasiat hingga 95%, bukan berarti vaksin Pfizer tidak memiliki efek samping. Dua petugas kesehatan di Alaska mengalami reaksi alergi setelah menerima suntikan Pfizer minggu ini, dan reaksi alergi parah juga dilaporkan pada dua petugas kesehatan di Inggris minggu lalu.
Peristiwa tersebut masih diselidiki dan tidak jelas apakah ada satu komponen atau bahan dalam vaksin Pfizer yang dapat menyebabkan reaksi tersebut. Untuk vaksin Moderna sendiri, FDA baru saja mengeluarkan rekomendasi penggunaannya seperti dikutip dari NBC News.
Vaksin Moderna bekerja dengan cara yang sama dengan vaksin Pfizer, menggunakan potongan kecil kode genetik yang disebut messenger RNA, atau mRNA, untuk mendorong sistem kekebalan memproduksi antibodi terhadap virus corona, tanpa menggunakan potongan-potongan virus itu sendiri. Uji klinis menunjukkan vaksin itu 94 persen efektif dalam mencegah gejala penyakit dalam dua minggu setelah dosis kedua.
Dalam rapat dewan penasihat hari Kamis, perwakilan dari Moderna mengatakan bahwa di antara lebih dari 30.000 peserta uji klinis, tidak ada kasus anafilaksis yang tampaknya terkait. Ada juga diskusi tentang apakah orang yang baru saja menjalani kosmetik filler berisiko lebih besar mengalami pembengkakan wajah sementara setelah penyuntikan.
Tiga orang dalam uji klinis Moderna yang mengalami pembengkakan di wajah juga memiliki pengisi, baik di pipi atau bibir. Prosedur tersebut telah diselesaikan antara dua minggu dan enam bulan sebelum vaksinasi. Sementara Sinovac saat ini masih menjalani uji klinis fase tiga.
Di Indonesia, uji klinis ini masih dilaksanakan oleh PT Biofarma dan Sinovac Biotech yang menggandeng Tim Peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Lebih dari 1.600 relawan terlibat dalam uji klinis ini. Mereka telah disuntik dengan vaksin Sinovac. Saat ini, BPOM tengah menunggu hasil uji tersebut.
Bila tahap ketiga ini hasilnya baik, maka vaksin ini bisa segera digunakan. Sesuai anjuran WHO, vaksin ini aman digunakan bila minimal ada data hasil uji klinis fase satu dan fase dua, ditambah analisis sebagian (interim) fase tiga, yang saat ini masih berlangsung di lima negara untuk mengeluarkan izin penggunaan darurat (EUA).
Di Brasil, penggunaan vaksin Sinovac ini menjadi kontroversi. Badan regulator obat-obatan Brasil, Anvisa, menuding China tidaktidak transparan terkait pengesahan vaksin Covid-19 buatan Sinovac yang dinamai CoronaVac. Menurut mereka, asal usul vaksin tersebut tidak jelas yang membuatnya ragu akan efektivitas vaksin tersebut. (CM)