Prof Fika mengatakan, dari tiga model pemberian makanan bergizi yang dilakukan, model Swakelola memiliki tingkat konsumsi tertinggi di antara siswa dengan persentase 84 persen, diikuti oleh Ready to Cook (RTC) dengan persentase 83 persen.
“Secara keseluruhan, jumlah anak dengan status gizi buruk, berkurang 2,8 persen pascaprogram. Program ini berhasil meningkatkan asupan gizi siswa, terutama dalam hal protein dan buah yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan siswa,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Food Security Review (IFSR) I Dewa Made Agung, menekankan pentingnya kolaborasi multi stakeholder dalam mendukung keberhasilan program makan bergizi. Menurutnya, edukasi mengenai menu dan konsumsi makanan bergizi, serta pengelolaan food waste perlu diberikan kepada anak dan orang tua.
“Studi percontohan yang dilakukan oleh JAPFA dan PKGK UI dapat menjadi referensi penting untuk implementasi program makan bergizi di sekolah-sekolah," katanya.
"Dari studi ini juga dapat dilihat penyusunan rentang biaya yang perlu disesuaikan dengan daerahnya. Selain itu, perlunya memastikan, produsen menghasilkan bahan makanan yang berkualitas dan terjamin keamanan pangannya, serta higienitas dalam proses produksi untuk hasil yang optimal. Seperti daging ayam yang berasal dari rumah potong ayam yang memenuhi standar dan memiliki sertifikat NKV,” ujar Dewa.
Diketahui, wilayah cakupan riset studi ini meliputi, SDN 06 Batang Anai di Padang, Sumatera Selatan; SDN 01 Duyungan di Sragen, Jawa Tengah; Posyandu Kecamatan Bululawang di Malang, Jawa Timur; SDN 03 Sungai Pinyuh di Mempawah, Kalimantan Barat; serta SD Bugatun Mubarakah dan TK Asoka di Makassar, Sulawesi Selatan.
Selama enam minggu berturut-turut, setiap wilayah diuji coba selama 10 hari untuk setiap model pemberian makanan, yang kemudian diukur dan dievaluasi angka kecukupan gizi dan efektivitas pelaksanaannya.