Ketika Nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah dan mengetahui bahwa orang Yahudi juga berpuasa pada hari Asyura, beliau tidak serta-merta mengikuti tradisi mereka. Sebaliknya, beliau menegaskan keutamaan puasa Asyura yang sudah beliau jalankan berdasarkan tradisi Ibrahim dan menambahkan anjuran puasa Tasua pada tanggal 9 Muharram sebagai pembeda.
Hadits dari Ibnu Abbas menyebutkan:
عَبْدَ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُا : حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ
Artinya: Dari Abdullah bin Abbas RA, beliau berkata bahwa ketika Rasulullah SAW berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa, para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, itu adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani.” Maka Rasulullah SAW menjawab, “Insya Allah tahun depan kita akan berpuasa pada hari kesembilan (Tasua).” Namun, tahun berikutnya tidak sempat terlaksana karena Rasulullah wafat (HR. Muslim).
Penambahan puasa Tasua oleh Nabi Muhammad SAW merupakan strategi untuk menjaga kemurnian ajaran Islam dan mempertegas identitas umat Islam agar tidak dianggap meniru tradisi agama lain. Dengan begitu, puasa Tasua dan Asyura menjadi ibadah yang unik dan khas bagi umat Islam, sekaligus menegaskan kedekatan Nabi Muhammad SAW dengan tradisi para nabi sebelumnya, khususnya Nabi Ibrahim AS.