Selain dalil Al Quran, Fatwa MUI tersebut juga melandaskan pada hadits Nabi berikut:
"Sesungguhnya Rasulullah mengembalikan tangan Khabib bin Yusaf yang putus di hari perang Badar, kemudian Rasulullah mengembalikannya sehingga tidak terlihat (bekas luka) kecuali seperti garis (HR. Ibn Abi Syaibah).
Fatwa MUI tersebut juga melandaskan pada kaidah fiqih yakni, “Dalam keadaan dharurat diperbolehkan melakukan yang dilarang”.
Tak lupa, MUI juga mengambil dasar dari pendapat Muhammad as-Syaukani dalam kitab Fathul Qadir jilid 3, halaman 431, sebagai berikut:
"Seorang perempuan hamil meninggal di mungkinkan di perutnya ada janin, dana diyakini janin masih hidup, maka perut mayat perempuan tersebut harus dibedah (untuk menyelamatkan janin tersebut). Kasus ini berbeda dengan kasus ketika seorang lelaki menelan berlian, kemudian meninggal, dan dia tidak meninggalkan harta berharga apapun (kecuali berlian yang ditelan), maka tidak boleh dibedah perutnya (untuk mengambil berlian tersebut). Hal itu karena, kasus pertama adalah mengesampingkan kehormatan/kemuliaan mayat untuk menyelamatkan kehormatan kehidupan (janin), maka dibolehkan. Sedang kasus kedua, mengesampingkan kehormatan yang lebih tinggi yaitu kemuliaan anak adam demi untuk menyelamatkan kehormatan yang ada di bawahnya yaitu harta (berlian yang tertelan). Dan tidak demikian dengan kasus yang pertama".
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum donor organ dalam Islam dibolehkan dengan sejumlah syarat dan memenuhi kaidah syariat.
Wallahu A'lam