Imam Al-Haramain Al-Juwaini (w. 478 H) menuliskan di dalam kitabnya Nihayatu Al-Mathlab fi Dirayati Al-Mazhab sebagai berikut :
فمن اقتدى بإنسان ثم تبيّن أنه كان محدثاً أو جنباً، فالإمام يعيد الصلاة، وليس على القوم إعادة عندنا، إذا لم يعلموا بطلان صلاة الإمام
Artinya: Barangsiapa yang berimam kepada seseorang kemudian diketahui bahwa imamnya berhadats atau junub maka imam tersebut wajib mengulangi shalatnya sedangkan makmum tidak perlu mengulanginya, ini adalah pendapat kami, hal ini jika para makmum tidak tahu jika imam berhadats.
Sedangkan ulama Madzhab Maliki menghuku batal salatnya baik imam maupun makmumnya.
Ibnu Juzai Al-Kalbi (w. 741 H) menuliskan di dalam kitabnya Al-Qawanin Al-Fiqhiyah sebagai berikut :
إذا صلى الإمام بجنابة أو على غير وضوء بطلت صلاته اتفاقا في العمد والنسيان وتبطل صلاة المأموم في العمد دون النسيان
Artinya: Jika imam shalat dalam keadaan junub atau tanpa wudhu, batallah shalatnya menurut kesepakatan ulama baik itu sengaja ataupun lupa. Shalat makmum batal jika sengaja, tidak dalam kondisi lupa.
Pendapat serupa juga dikemukakan Madzhab Hanafi. Salah satu ulama Madzhab Hanafi, Kasani menuliskan di dalam kitabnya Badai Ash-Shanai fi Tartib Asy-Syarai sebagai berikut :
ولنا ما روي أن النبي - صلى الله عليه وسلم - صلى بأصحابه ثم تذكر جنابة فأعاد وأمر أصحابه بالإعادة
Artinya: Menurut madzhab kami dalam suatu riwayat bahwa Rasulullah SAW shalat bersama para sahabatnya kemudian beliau sadar bahwa sedang junub maka beliau mengulang shalatnya dan memerintahkan para sahabat untuk mengulangi juga.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Madzhab Syafi'i yang dipegang mayoritas umat Islam di Indonesia, hukum imam salat lupa kalau wudunya batal, maka makmum tetap sah shalatnya dan tidak perlu mengulanginya. Sedangkan bagi imam, wajib mengulangi shalatnya.
Wallahu A'lam