Tak hanya hartanya yang akan menjadi haram, tetapi tindakan pemberi riba maupun penerima riba akan menerima status keharaman dari riba.
Dari Jabir, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikannya.” Ia berkata: “Mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim, nomor 2994).
Pada zaman jahiliyah, praktik riba sering ditemui pada rentenir yang akan memberikan tambahan biaya jika seseorang tidak mengembalikan pinjaman sesuai dengan batas waktu yang disepakati.
Riba di masa itu juga ditemukan pada praktik jual beli dimana adanya tambahan harga ketika seseorang tidak dapat melakukan pelunasan pada barang yang ia beli sesuai batas tempo tertentu.
Syekh Wahbah Az-Zuhaily dalam kitab Al-Fiqhul Islamy wa Adillatuhû menyatakan,“riba jahiliyah adalah riba yang sangat dikenal oleh masyarakat Arab kala itu, bahkan mereka tidak pernah mengenal riba yang lainnya dalam sejarah. Riba ini dipungut karena alasan tertundanya pelunasan hutang sehingga perlu daur ulang (restrukturisasi) dengan tempo yang baru, baik itu akibat utang karena penundaan pembayaran harga barang yang dibeli atau akibat akad utang piutang.”
Lantas, mengapa Islam melarang praktik riba? Hal ini karena di dalam riba terdapat unsur penindasan (zhulm) dan eksploitasi atau pelipatgandaaan hingga dua kali lipat (adh’afan mudha’afah).