“Maka sebab penindasan yang dilakukan oleh orang Yahudi, maka kami haramkan kepada mereka harta yang baik-baik yang (sebelumnya) pernah diperbolehkan bagi mereka disebabkan tindakan mereka yang keluar dari jalan Allah, tindakan mereka dalam memungut riba padahal telah dinyatakan larangannya, dan tindakan mereka dalam memakan harta orang lain dengan jalan bathil (jalan yang tidak dibenarkan oleh syara). (Untuk itu) telah kami siapkan bagi orang-orang yang membantah perintah Allah ini (kafir) suatu azab yang pedih,” (QS. An-Nisa: 16).
Saat ini, bunga bank sering dikaitkan dengan praktik riba pada zaman modern karena dianggap mengandung illat yang sama.
Dalam aktivitas perbankan konvensional, bunga bank terdiri dari dua macam, yaitu bunga simpanan dan bunga pinjaman.
Bunga simpanan merupakan bunga atau imbalan yang diberikan oleh bank kepada nasabah yang menyimpan uangnya di bank.
Sedangkan bunga pinjaman adalah imbalan yang harus diberikan oleh peminjam kepada bank yang memberikan pinjaman.
Meskipun demikian, perdebatan tentang status hukum bunga bank oleh ulama ahli fiqih nyatanya masih bermunculan hingga saat ini.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Majma’ al-Fiqh al-Islamy, Majma’ Fiqh Rabithah al-‘Alam al-Islamy, Yusuf Qaradhawi, Mutawalli Sya’rawi, Abu Zahrah, dan Muhammad al-Ghazali menyatakan bahwa bunga bank secara mutlak hukumnya haram.
Akan tetapi, ulama lainnya, seperti Syekh Ali Jum’ah, Muhammad Abduh, Muhammad Sayyid Thanthawi, Abdul Wahab Khalaf, dan Mahmud Syaltut menganggap bahwa bunga bank bukan termasuk riba.
Pendapat kedua ini didasarkan pada adanya keridhaan antara pemberi dan penerima bunga bank yang ditentukan di awal transaksi.
Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29).
Dari dalil tersebut dijelaskan bahwa tambahan harta yang disepakati di awal transaksi atas dasar ridha atau suka sama suka diperbolehkan untuk dilakukan.
Selain itu, ulama kontemporer menganggap tidak ada unsur penindasan (zhulm) pada riba, tetapi justru dapat meningkatkan perekonomian.
Itulah status hukum riba dalam Islam dan dalilnya. Wallahu a’lam bish shawab.