Ketiga ialah al-Waqt, sebagaimana potongan ayat dalam QS. An-Nisa: 103,
إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا…
“…Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. Al-Waqt adalah batas dari berakhirnya suatu pekerjaan, seperti adanya batas-batas waktu dalam shalat. Istilah ini yang kemudian diadopsi oleh bahasa Indonesia, al-waqt menjadi waktu.
Keempat ialah al-‘Ashr, sebagaimana dalam QS. Al-‘Ashr: 1-3,
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. Allah peringatkan hambanya dengan al-‘Ashr.
Jamaah Jum’ah Rahimakumullah,
Harta yang hilang bisa dicari lagi. Namun waktu yang hilang tidak pernah bisa akan kembali lagi. Manusia yang berada dalam kerugian sebagaimana dalam QS. Al-‘Ashr, para ulama memilki beberapa penafsiran.
Ada yang mengatakan bahwa manusia di sini ialah semua orang. Ulama lainnya berpendapat bahwa manusia di sini bermakna mereka yang sudah baligh. Sebab, sebelum akil baligh semua amalan yang ia lakukan belum dihisab atau belum mukallaf.