JAKARTA, iNews.id - Kisah Qais bin Sirmah dan sebab turunnya ayat pedoman puasa mungkin dapat menjadi pencerah di bulan Ramadan. Qais bin Shirmah merupakan salah satu sahabat Rasulullah SAW yang taat dalam mengerjakan perintah agama.
Dikisahkan bahwa Qais bin Shirmah berasal dari kalangan Anshar dan bekerja sebagai buruh tani di salah satu kebun kurma.
Kisah sahabat Nabi itu ternyata menjadi awal mula dari turunnya ayat pedoman puasa, khususnya anjuran sahur bagi kaum muslimin. Bermula dari kisah Qais bin Shirmah, anjuran sahur mulai diperkenalkan dan menjadi penyebab turunnya ayat Al-Quran, yaitu surat Al-Baqarah ayat 187.
Berikut ini adalah Kisah Qais bin Sirmah dan Sebab Turunnya Ayat Pedoman Puasa
Dilansir iNews.id dari Islam NU, dikisahkan bahwa suatu ketika Qais bin Shirmah sedang menjalankan Ramadhan.
Ketika tiba waktu berbuka, dia kemudian pulang ke rumah dan bertanya kepada sang istri apakah ada makanan untuk berbuka puasa.
Saat itu, istri Qais menjawab tidak mempunyai makanan sama sekali di rumahnya. Ia kemudian berusaha mencarikan makanan dan meminta suaminya menunggu sejenak "Maafkan aku, suamiku. Hari ini kita tidak punya makanan apapun. Tunggulah sebentar, aku akan mencarikan makanan untukmu,” kata istri Qais, dikutip buku Pesona Ibadah Nabi (Ahmad Rofi’ Usmani, 2015).
Istri Qais lantas keluar rumah dan mencari makana agar suaminya dapat berbuka. Sementara Qais bin Shirmah yang seharian sudah bekerja di ladang akhirnya tertidur tanpa sempat makan sesuap karena menunggu istrinya.
Saat istri Qais pulang dengan membawa makanan, ia melihat suaminya yang sudah tertidur pulas. Merasa kasihan, sang istri tidak tega membangunkannya. “Kasian engkau, suamiku,” kata istri Qais.
Keesokan harinya, Qais bin Shirmah yang belum sempat makan dan minum sejak sehari akhirnya pingsan. Kejadian tersebut kemudian dilaporkan kepada Nabi Muhammad SAW. Tidak lama setelah peristiwa itu, lalu turunlah Al-Quran Surat al-Baqarah ayat 187 yang berbunyi:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Uḥilla lakum lailataṣ-ṣiyāmir-rafaṡu ilā nisā`ikum, hunna libāsul lakum wa antum libāsul lahunn, 'alimallāhu annakum kuntum takhtānụna anfusakum fa tāba 'alaikum wa 'afā 'ankum, fal-āna bāsyirụhunna wabtagụ mā kataballāhu lakum, wa kulụ wasyrabụ ḥattā yatabayyana lakumul-khaiṭul-abyaḍu minal-khaiṭil-aswadi minal-fajr, ṡumma atimmuṣ-ṣiyāma ilal-laīl, wa lā tubāsyirụhunna wa antum 'ākifụna fil-masājid, tilka ḥudụdullāhi fa lā taqrabụhā, każālika yubayyinullāhu āyātihī lin-nāsi la'allahum yattaqụn
Artinya: “Dihalalkan bagi kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian pada malam hari bulan puasa. Mereka adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kalian tidak bisa menahan nafsu kalian. Karena itu, Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka kini campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. Dan, makan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu hingga (datang) malam, tetapi janganlah kalian campuri mereka, sementara kalian sedang beri’tikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah. Karena itu, janganlah kalian mendekatinya. Demikian Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa.”
Kisah tersebut cukup masyhur dan diriwayatkan oleh beberapa mukharrij, seperti imam Al-Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi dan yang lain.
Saat itu, yakni ketika awal-awal diwajibkan puasa, memang belum ada ketentuan yang jelas mengenai batasan kapan boleh makan-minum dan kapan tidak boleh. Ada sebagian sahabat yang berpuasa, kemudian tertidur sebelum berbuka hingga sepanjang malam. Akibatnya, mereka tidak sempat berbuka dan sahur namun harus berpuasa di hari berikutnya seperti yang dialami Qais bin Shirmah tersebut.
Dalam riwayat Abu Daud disebutkan bahwa,"Pada masa Rasulullah SAW, ketika orang- orang telah melaksanakan salat Isya’, maka haram bagi mereka untuk makan, minum, dan menggauli istri".