JAKARTA, iNews.id - Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengakui telah menyembunyikan sembilan data penting dalam salinan ijazah Presiden Joko Widodo yang digunakan sebagai syarat pencalonan dalam Pilpres 2014 dan 2019.
Data yang diblokir meliputi nomor kertas ijazah, nomor ijazah, nomor induk mahasiswa, tanggal dan tempat lahir, serta tanda tangan pejabat legalisir, rektor, dan dekan fakultas. Semua elemen tersebut dihitamkan agar tidak dapat dibaca publik.
KPU menjelaskan bahwa tindakan ini diambil untuk melindungi data pribadi sesuai prinsip kehati-hatian. Mereka menilai data seperti nomor identitas dan tanda tangan pejabat merupakan informasi sensitif yang tidak layak disebarkan secara bebas.
Namun, KPU juga mengakui belum melakukan uji konsekuensi yang merupakan prosedur penting dalam menentukan data mana yang wajib dibuka atau disembunyikan.
Pemohon sengketa informasi Bonatua Silalahi menilai langkah KPU tidak sesuai aturan keterbukaan informasi. Bonatua menegaskan bahwa beberapa data yang ditutup seharusnya bersifat dokumen publik dan bukan data pribadi, seperti nomor ijazah dan identitas umum. Ia juga menyoroti tidak adanya dasar hukum yang jelas karena tidak ada surat uji konsekuensi dari KPU.
Kontroversi ini terus berlanjut dengan banyak pihak mempertanyakan alasan KPU menutup informasi tersebut, yang juga terlambat diserahkan setelah upaya sengketa dibawa ke Komisi Informasi Pusat (KIP). Dalam sengketa ini, KIP menjadi forum penentu sejauh mana ijazah Presiden Jokowi dapat dibuka untuk publik.
Kasus ini mencerminkan persoalan penting antara transparansi dan perlindungan data pribadi dalam dokumen publik, dan akan menjadi perhatian publik saat sidang sengketa di KIP berlangsung. Keputusan yang diambil nantinya diharapkan dapat memberikan arah jelas mengenai pengelolaan dokumen penting dalam konteks pilkada dan pemilu.