KARABAKH, iNews.id – Sedikitnya 64 kombatan Suriah pro-Turki dilaporkan tewas dalam bentrokan antara pasukan Armenia dan Azerbaijan di kawasan Nagorno-Karabakh. Puluhan orang itu menjadi bagian dari 1.200 petempur faksi Suriah yang dikirim Turki untuk membela Azerbaijan sejak pekan lalu,
Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR) mengungkapkan, setidaknya 36 dari kombatan Suriah telah tewas dalam bentrokan di Nagorno-Karabakh dalam 48 jam terakhir saja. Jika ditambah dengan korban sebelumnya, jumlah petempur Suriah yang meninggal dalam peperangan antara dua negara bekas Uni Soviet itu kini menjadi 64 jiwa, menurut lembaga yang berbasis di Inggris itu.
Armenia menuduh Turki sengaja mengirim tentara bayaran dari Suriah untuk berperang di pihak Azerbaijan di wilayah Nagorno-Karabakh yang disengketakan. Namun, tuduhan itu dibantah oleh Azerbaijan dan Turki.
Sementara, Presiden Prancis Emmanuel Macron juga ikut-ikutan mengomentari situasi di Nagorno-Karabakh. Pada Jumat (2/10/2020) lalu, politikus berusia 42 tahun itu menuntut Turki menjelaskan kedatangan para kombatan yang dia sebut sebagai “jihadis” di Azerbaijan.
Macron mengklaim, laporan intelijen menyatakan bahwa 300 pejuang Suriah yang ditarik dari “kelompok-kelompok jihadis” dari Kota Aleppo di Suriah telah melewati Gaziantep di Turki dalam perjalanan ke Azerbaijan. Dalam sebuah pernyataan pada Sabtu (3/10/2020), Kementerian Luar Negeri Suriah juga memperingatkan campur tangan Turki yang terang-terangan dalam konflik tersebut.
“(Keterlibatan Ankara) ini bertujuan untuk mengobarkan situasi dengan cara yang konsisten dengan perilaku rezim Turki di lebih dari satu negara, di mana hal itu telah menciptakan ketegangan dan memicu api hasutan,” demikian pernyataan Kemlu Suriah seperti disiarkan oleh kantor berita SANA.
Bentrokan berkecamuk antara pasukan Armenia dan Azerbaijan sejak akhir pekan lalu di Nagorno-Karabakh, provinsi yang mayoritas penduduknya berasal dari etnik Armenia. Provinsi itu selalu berusaha memisahkan diri dari Azerbaijan sejak terjadinya perang sengit pada 1990-an.