“Jika (situasi) Afghanistan bisa tenang selama beberapa tahun saja, dan memungkinkan pengembangan sumber daya mineralnya, dia bisa menjadi salah satu negara terkaya di kawasan (Asia Tengah) itu dalam satu dekade,” kata peneliti dari US Geological Survey, Said Mirzad, kepada majalah Science pada 2010.
Sayangnya, setelah lebih dari satu dekade berlalu, ketenangan yang diharapkan itu tidak pernah tiba. Sebaliknya, kekacauan dan gejolak masih berkelindan di sekitar negara yang dilanda kemiskinan. Dengan kata lain, sebagian besar kekayaan mineral Afghanistan sampai detik ini masih tetap berada di dalam tanah.
Anggota senior tidak tetap Dewan Atlantik yang juga mantan Direktur Timur Tengah dan Asia Tengah di Dana Moneter Internasional (IMF), Mosin Khan menuturkan, saat ini sektor mineral di Afghanistan hanya menghasilkan 1 miliar dolar AS (Rp14,46 triliun) per tahun. Dari jumlah tersebut, dia memperkirakan sebanyak 30 persen hingga 40 persen di antaranya “dirampok” oleh para koruptor.
Di luar itu, ada juga dana yang didapat para panglima perang dan kelompok Taliban, dari sejumlah proyek pertambangan kecil. Ke depan, ada kemungkinan Taliban menggunakan kekuatan baru mereka untuk mengembangkan sektor pertambangan itu, menurut analisis Schoonover.
“Bisa dibayangkan satu lintasan mungkin ada beberapa konsolidasi, dan beberapa penambangan ini tidak perlu lagi diatur,” katanya.
Akan tetapi, lanjut Schoonover, untuk mewujudkan itu jelas tidak mudah. Pasalnya, Taliban perlu mencurahkan perhatiannya segera pada berbagai masalah keamanan dan kemanusiaan di dalam negeri begitu berkuasa.