Bahkan sebelum Presiden AS Joe Biden mengumumkan akan menarik pasukan Amerika Serikat dari Afghanistan awal tahun ini—yang dianggap sebagai tindakan menyiapkan panggung untuk kembalinya kendali Taliban—prospek ekonomi negara itu tetap suram.
Pada 2020, diperkirakan 90 persen warga Afghanistan hidup di bawah tingkat kemiskinan yang ditetapkan pemerintah, yaitu hanya memperoleh penghasilan sebesar 2 dolar AS per hari, menurut laporan US Congressional Research Service yang diterbitkan pada Juni lalu. Dalam profil negara terbarunya, Bank Dunia mengungkapkan, ekonomi Afghanistan tetap dalam kondisi yang rapuh dan sangat tergantung pada bantuan asing.
Namun, penemuan tentang kekayaan mineral Afghanistan, yang dibangun berdasarkan survei sebelumnya yang dilakukan oleh Uni Soviet, tampaknya telah menawarkan janji besar. Apalagi, permintaan logam seperti litium dan kobalt, serta elemen tanah jarang seperti neodimium, melonjak di saat banyak negara mencoba beralih ke mobil listrik dan teknologi ramah lingkungan lainnya untuk memangkas emisi karbon.
Pada Mei lalu, Badan Energi Internasional (IEA) menyatakan pasokan global litium, tembaga, nikel, kobalt, dan elemen tanah jarang harus ditingkatkan secara tajam. Jika tidak, dunia akan gagal dalam upayanya untuk mengatasi krisis iklim.
Tiga negara yaitu China, Republik Demokratik Kongo, dan Australia, saat ini menyumbang 75 persen dari produksi global litium, kobalt, dan elemen tanah jarang.
Menurut IEA, rata-rata mobil listrik membutuhkan mineral enam kali lebih banyak daripada mobil konvensional. Litium, nikel, dan kobalt sangat penting untuk pembuatan baterai. Jaringan listrik juga membutuhkan tembaga dan aluminium dalam jumlah besar. Sementara elemen tanah jarang digunakan dalam pembuatan magnet yang dibutuhkan untuk membuat turbin angin.
Menurut laporan, Pemerintah AS memperkirakan deposit litium di Afghanistan dapat menyaingi Bolivia—rumah bagi cadangan litium terbesar di dunia yang diketahui sampai saat ini.