Dalam RUU baru itu, setiap proses perceraian akan dikenakan masa tenang selama 30 hari. Jika salah satu pihak (istri atau suami) tidak bersedia bercerai, mereka dapat menarik permohonan, mengakhiri proses pendaftaran perceraian.
“Menikah itu mudah, tetapi bercerai itu sulit. Sungguh aturan yang bodoh,” tulis seorang netizen China di platform media sosial Weibo, yang menarik puluhan ribu tanda suka.
Dikataka pula bahwa rancangan regulasi itu dibuat untuk mempromosikan pentingnya pernikahan dan keluarga, serta mengurangi angka perceraian impulsif (perceraian yang terjadi karena faktor emosional semata). Pemerintah China juga mengklaim RUU itu bertujuan untuk menegakkan stabilitas sosial dan lebih melindungi hak-hak sah para suami dan istri.
Data resmi menunjukkan, jumlah pasangan China yang menikah pada paruh pertama tahun ini turun 498.000 dari tahun sebelumnya menjadi 3,43 juta. Itu adalah angka terendah sejak 2013, Penyebab penurunan itu adalah karena semakin banyak anak muda China yang menunda untuk menikah.
Banyak anak muda China memilih untuk tetap melajang atau menunda menikah karena khawatir akan keamanan kerja dan prospek masa depan mereka, seiring melambatnya pertumbuhan penduduk di negara pemilik kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia itu.