JAKARTA, iNews.id - Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengategorikan fentanyl sebagai senjata pemusnah massal kembali menyorot bahaya besar opioid sintetis tersebut bagi manusia. Bukan tanpa alasan, fentanyl dinilai memiliki daya rusak yang masif dan mematikan, terutama ketika beredar secara ilegal di luar dunia medis.
Fentanyl sejatinya merupakan obat penghilang rasa sakit yang dikembangkan untuk keperluan medis, seperti penanganan nyeri berat pada pasien kanker atau pascaoperasi besar. Namun karena kekuatannya yang ekstrem, penggunaannya di dunia kesehatan dilakukan secara sangat ketat dan terkontrol.
Ancaman serius muncul ketika fentanyl disalahgunakan dan diproduksi secara ilegal. Zat ini dikenal 50 hingga 100 kali lebih kuat dibandingkan morfin.
Dalam jumlah yang sangat kecil saja, fentanyl bisa menekan sistem pernapasan, menyebabkan kehilangan kesadaran, hingga berujung pada kematian dalam waktu singkat.
Salah satu bahaya terbesar fentanyl adalah sifatnya yang kerap dicampurkan ke dalam narkoba lain seperti heroin, kokain, atau pil ilegal tanpa sepengetahuan pengguna. Kondisi ini membuat banyak orang mengalami overdosis fatal karena tidak menyadari zat berbahaya yang masuk ke dalam tubuh mereka.
Data otoritas kesehatan Amerika Serikat menunjukkan, fentanyl menjadi penyebab utama kematian akibat overdosis narkoba dalam beberapa tahun terakhir. Puluhan ribu orang meninggal setiap tahun, menjadikan krisis fentanyl sebagai salah satu bencana kesehatan masyarakat terburuk di AS.
Pemerintahan Trump menilai dampak fentanyl sebanding dengan senjata pemusnah massal karena kemampuannya membunuh dalam skala besar secara senyap. Tanpa ledakan atau serangan militer, zat ini dinilai mampu merusak generasi muda dan melemahkan struktur sosial suatu negara.