Ada juga model ketiga yang menggabungkan antara keduanya, seperti Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, Dar al-Ifta’ al-Mishriyah di Mesir, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketiga lembaga ini tetap menjadikan pandangan para ulama madzhab sebagai referensi pokok dan kemudian mengelaborasikannya dengan pendalaman kajian Alquran, hadits, kaidah-kaidah fiqhiyah dan ushuliyah, juga diskursus-diskursus pemikiran baru yang cukup supaya fatwa hukum yang dikeluarkan bisa lebih kontekstual.
Fatwa harus disertai penjelasan
Menurut pengalaman Iffatul, yang juga pengasuh Pondok Pesantren Unggulan Tahfizh & Sains (PPUTS) Darus Salam Torjun Sampang Madura itu, pada masa sekarang tidak cukup lagi bagi seorang mufti untuk memberikan fatwa hukum tanpa menyertakan dalil-dalilnya. "Bahkan, sudah menjadi tuntutan yang lazim bahwa setiap fatwa yang dikeluarkan harus disertai dengan ulasan singkat yang menjelaskan kenapa atau bagaimana sebuah dalil bisa membawa kita kepada sebuah kesimpulan fatwa hukum," kata pengurus Lembaga Bahtsul Masail (LBMI) PBNU dan dosen UIN Syarief Hidayatullah Jakarta itu.
Ulama perempuan yang aktif di beberapa jaringan aktivis advokasi perempuan, termasuk sebagai narasumber perempuan yang duduk sejajar dengan para ulama besar dunia dalam seminar internasional memperingati 1 Abad Nahdlatul Ulama Tahun 2023 lalu, itu melihat bahwasanya realitas kebutuhan di masyarakat membutuhkan penjelasan yang lebih perinci dalam beberapa aspek yang terkait dengan hukum yang difatwakan. Dengan demikian, sebuah fatwa hukum sebaiknya tidak sekedar berbicara tentang halal, haram, atau boleh dan tidak boleh saja.
Sidang disertasi Iffatul dihadiri Plt Atase Pendidikan/Koordinator Fungsi Penerangan, Sosial dan Budaya KBRI Kairo, Dr Rahmat Aming Lasim; Pelaksana Fungsi Penerangan, Sosial Budaya KBRI Kairo, M Arif Ramadhan; dan para aktivis, peneliti serta mahasiswa Indonesia yang sedang menimba ilmu di Universitas al-Azhar Kairo.