Kendati demikian, KPIQP menilai pengaktifan calling visa itu menjadi bagian dari soft diplomacy menuju normalisasi hubungan politik dengan zionis. “Apalagi, Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, sehingga kebijakan itu hanya akan menjadi celah bagi tercapainya tujuan akhir yakni normalisasi hubungan,” kata Nurjanah.
Dia menuturkan, kebijakan tersebut tentu bertentangan dengan dukungan terbuka Presiden Jokowi terhadap Palestina. Secara khusus, pada Sidang Majelis Umum (SMU) ke-75 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia sudah menegaskan komitmennya sebagai pihak yang memainkan peran dari solusi perdamaian.
“Perlu diingat, Negara Palestina adalah satu-satunya negara peserta Konferensi Asia Afrika di Bandung yang belum mengecap kemerdekaan sampai sekarang,” ucap Nurjanah.
Untuk itu, kata dia, aktivasi kebijakan calling visa tidak hanya mencederai komitmen Indonesia terhadap Palestina, namun sekaligus mencederai amanat Pembukaan UUD 1945 yang menegaskan penolakan segala bentuk penjajahan.
“Ini juga bertentangan dengan pesan founding father Indonesia, Soekarno, yang mengamanatkan untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Atas dasar hal tersebut, KPIQP menyerukan agar Presiden Jokowi menonaktifkan kembali kebijakan ini.”