Dalam situasi perang skala penuh, kemungkinan keterlibatan dua kekuatan ini muncul dalam tiga skenario:
1. Keterlibatan Tak Langsung Melalui Dukungan Militer dan Intelijen
AS bisa memperkuat Thailand dengan peralatan militer, pelatihan, atau informasi intelijen. Hal yang sama dapat dilakukan China terhadap Kamboja. Skenario ini membuat kawasan menjadi ladang proxy war baru di tengah meningkatnya rivalitas global.
Jika perang mengancam stabilitas Asia Tenggara secara luas, baik AS maupun China mungkin menekan sekutu mereka untuk mengakhiri perang. Ini akan dilakukan demi menjaga citra dan pengaruh masing-masing di ASEAN.
2. Konflik Meluas ke Laut China Selatan dan Perairan Strategis
Akses militer China ke Teluk Thailand memberi dimensi maritim pada konflik ini. Jika perang mengganggu rute pelayaran atau wilayah yang disengketakan di Laut China Selatan, maka keterlibatan langsung, bahkan konfrontasi, bukan mustahil terjadi.
3. ASEAN di Persimpangan Jalan
ASEAN sebagai organisasi kawasan menghadapi ujian besar. Jika perang meletus dan kekuatan eksternal mulai ikut campur, maka independensi dan sentralitas ASEAN bisa dipertanyakan. Thailand sendiri memberi sinyal lebih menyukai penyelesaian secara bilateral atau melalui mediasi ASEAN, bukan oleh negara di luar kawasan.
Titik Genting Asia Tenggara
Peringatan dari PM Phumtham membuka mata dunia bahwa Asia Tenggara sedang duduk di atas bara api. Jika konflik Thailand-Kamboja tak dikendalikan, maka AS dan China hampir pasti akan terlibat, minimal sebagai pendukung atau penekan diplomatik.
Hak yang jelas, perang skala penuh di kawasan ini bukan hanya bencana kemanusiaan, tapi juga bisa menjadi titik api baru dalam konstelasi geopolitik global.