JAKARTA, iNews.id – Sudah lebih dari 10 bulan Rusia melancarkan agresi militernya di Ukraina. Sampai hari ini, belum ada tanda-tanda perang antara dua negara bekas Uni Soviet itu bakal berakhir.
Agresi militer Rusia dimulai setelah Republik Rakyat Donetsk dan Luhansk (DPR dan LPR) meminta bantuan Moskow untuk membela diri dari serangan pasukan Kiev. DPR dan LPR adalah dua entitas politik yang ingin memisahkan diri dari Ukraina.
Dua entitas tersebut mengendalikan sebagian wilayah Donbas—yang berada di bagian timur Ukraina dan mayoritas didiami oleh penduduk penutur bahasa Rusia. Menurut Presiden Rusia Vladimir Putin, mereka kerap kali mengalami penindasan selama bertahun-tahun di bawah rezim Kiev yang berhaluan “Nazi”.
Selain untuk melindungi DPR dan LPR, Rusia sejatinya juga punya kepentingan lain saat melancarkan agresi militer di Ukraina. Moskow menganggap kecenderungan Ukraina untuk berkiblat ke Barat dan ambisi Kiev bergabung dengan NATO (Pakta Pertahanan Atlantink Utara) sebagai ancamanya nyata bagi kedaulatan Rusia.
Karena itulah, Rusia mengklaim tujuan dari agresi—yang para pejabat Kremlin menyebutnya dengan istilah “operasi militer khusus”—itu adalah untuk demiliterisasi dan “denazifikasi” Ukraina. Oleh beberapa analis, agresi Rusia di Ukraina dipandang sebagai serangan terbesar di Eropa sejak Perang Dunia II.
Rusia menyatakan, operasi khususnya tersebut hanya menyasar fasilitas militer yang ada di Ukraina. Moskow pun telah berulang kali membantah menargetkan warga sipil saat melancarkan serangannya. Namun fakta berkata lain. Sejak pasukan Rusia mulai menyerang negeri tetangganya itu pada 24 Februari, banyak nyawa warga yang melayang.
Data yang dihimpun Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) dari 24 Februari hingga 27 Desember 2022 menunjukkan, terdapat 17.831 warga sipil yang menjadi korban perang Rusia-Ukraina. Perinciannya, 6.884 orang meninggal dunia, sedangkan sebanyak 10.947 lainnya luka-luka.