Amerika Serikat dan para sekutunya, termasuk Uni Eropa, telah menerapkan berbagai macam sanksi terhadap Rusia, dengan harapan Moskow akan kehilangan sumber pendapatan untuk mendanai perangnya sehingga konflik pun dapat berakhir. Namun, harapan itu tampaknya masih jauh panggang dari api, walau ekonomi Rusia memang terpukul—bukan saja akibat sanksi yang bertubi-tubi dari Barat, tetapi juga karena kebijakan Putin sendiri.
Harga minyak melambung
Dampak perang tidak hanya berdampak pada dua negara rumpun Slavia itu. Secara global, pengaruh agresi militer Rusia di Ukraina juga menyebabkan gangguan terhadap aspek ekonomi dan sosial-politik global.
Harga rata-rata minyak mentah dunia (Brent, Dubai, dan WTI) melambung tinggi, mencapai 116,8 dolar AS per barel pada Juni 2022 (data IndexMundi). Harga bahan bakar lainnya seperti gas alam cair (LNG), juga mengalami kenaikan di Eropa karena kelangkaannya di pasar Eropa. Sementara Moskow mengurangi pasokan gasnya yang selama ini mengalir lewat jaringan pipa yang menghubungkan Rusia ke Benua Biru.
Negara-negara yang sudah memiliki komitmen kuat terhadap energi terbarukan, seperti Jerman misalnya, terpaksa kembali menggunakan batu bara untuk memenuhi kebutuhan energinya. Bahkan, beberapa pembangkit batu bara yang sudah ditutup sebelumnya di negara itu, kini beroperasi lagi. Langkah tersebut mencederai cita-cita Berlin untuk menyetop 100 persen penggunaan energi fosil itu sepenuhnya pada 2030.
Sementara negara-negara maju lainnya seperti Jepang dan Amerika Serikat, terpaksa melepaskan cadangan minyak mentahnya demi mengatasi kelangkaan energi sebagai imbas dari Perang Rusia-Ukraina. Pada April lalu misalnya, Tokyo mengumumkan pelepasan cadangan minyak terbesar sepanjang sejarah negeri samurai itu, yakni mencapai 15 juta barel. Sementara Amerika Serikat pada periode yang sama melepaskan sebanyak 60,5 juta barel dari Strategic Petroleum Reserve (SPR) alias Cadangan Minyak Strategis-nya.
Secara total, negara-negara anggota International Energy Agency (IEA) atau Badan Energi Internasional, termasuk AS dan Jepang, sepakat untuk merilis stok cadangan minyak sebanyak 180 juta barel dari gudang penyimpanan mereka. Dengan begitu, mereka berharap kenaikan harga minyak di pasar global bisa ditekan.