Kampanye ini terutama juga terkait dengan gagasan HAM di mana sejumlah hak-hak dasar seperti hak hidup, hak menyatakan pendapat, hak berorganisasi dan hak-hak lain adalah hak yang sifatnya universal.
Hak-hak tersebut selama ini menjadi ujung diplomasi negara-negara Barat dan bahkan menjadi legitimasi untuk melakukan intervensi kedaulatan ke negara lain yang berdaulat. Sikap Barat yang cenderung permisif menyebabkan pelanggaran HAM, baik di dalam negeri maupun di dalam negara lain, menjadi kehilangan legitimasinya.
Kehilangan legitimasi ini adalah salah satu bibit timbulnya radikalisme dan kemudian menjelma menjadi aksi-aksi terorisme. Negara-negara juga semakin permisif atau tidak peduli dengan krisis nilai-nilai kemanusiaan di luar negeri dan dalam negeri negaranya masing-masing.
Hal ini merugikan bagi negara-negara yang sedang membangun perekonomian, seperti Indonesia. Kita masih dalam proses menata stabilitas ekonomi tetapi juga harus sibuk menyelesaikan efek negatif dari sikap-sikap tebang pilih tersebut.
Kasus Khassoggi juga menjadi penjelas sikap negara-negara Barat bahwa mereka sebetulnya tidak terlalu serius memperhatikan keadaan HAM di Timur Tengah terutama di Arab Saudi. Kepentingan mereka menyuarakan demokrasi hanya sejauh apabila sesuai dengan kepentingan dan eksistensi regional kawasan.
Hal ini terlihat dari intervensi yang mereka lakukan di Suriah, Libya, Irak dan beberapa operasi lainnya. Negara-negara tersebut adalah negara-negara yang memiliki sistim parlementer dan pemilu secara reguler untuk memilih pemimpin mereka meskipun prinsip dan filosofi demokrasinya berbeda dengan demokrasi liberal yang diyakini Barat.
Salah satu kepentingan Barat adalah industri senjata. The Stockholm International Peace Research Institute melalui sumber-sumber mereka mengukur jumlah senjata yang diekspor setiap tahun oleh Inggris ke Arab Saudi.
Lembaga itu memperkirakan bahwa sejak 2013, sekitar 100 rudal Storm Shadow buatan Inggris (senilai £80 juta atau sekitar Rp1,6 triliun), 2.400 bom Paveway IV (senilai 150 juta pundsterling atau sekitar Rp2,9 triliun) dan 1.000 Brimstone rudal (senilai 100 juta pundsterling atau sekitar Rp1,9 triliun) telah dijual ke Arab Saudi (The Guardian, 2018).
Amerika Serikat jauh lebih jujur mengakui bahwa melakukan intervensi terhadap kasus Khassogghi akan membahayakan ratusan ribu lapangan pekerjaan yang tercipta karena perdagangan senjata dan militer ke Arab Saudi.
Vijay Prashad dari Independent Institute Media mencatat bahwa ekspor senjata AS telah meningkat secara sejak 2008. Sebanyak 20% dari penjualan senjata AS ke Arab Saudi. Minat Arab Saudi untuk membeli senjata AS telah meningkat 448% dari 2008-2012 hingga 2013-2017. Arab Saudi memang penting bagi industri pasar keuangan AS dan pabrik senjata.
Artinya apakah memang diplomasi antar negara sedemikian transaksional? Repotnya adalah bahwa negara seperti Indonesia tidak bisa kemudian mengikuti jejak yang dilakukan Arab Saudi atau Rusia, mengabaikan HAM dan demokrasi dengan harapan memenangkan tender yang lebih besar dari negara-negara tertentu.
Kita tentu tidak ingin Indonesia menjadi pasar senjata-senjata dari negara-negara manapun. Adalah mengkhianati perjuangan mempersatukan Indonesia pula bila kita menumbuhkan perekonomian dengan cara menggadaikan prinsip-prinsip kemanusiaan dan merelakan negara kehilangan kemerdekaan berpikir dan bertindak karena menjadi stempel kebijakan negara-negara lain. Bukankah begitu?*
*Artikel ini telah tayang di Koran SINDO.