Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
KASUS pembunuhan Jamal Khasshoggi di konsulat Arab Saudi di Turki dan percobaan pembunuhan Sergie Skripal warga Rusia di Inggris adalah salah satu contoh tentang konsistensi pihak Barat dalam melakukan tebang pilih ketika menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dan Hak Asasi Manusia kepada negara-negara lain.
Mereka akan bertindak agresif dan keras kepada negara-negara yang bukan sekutunya tetapi mereka bersikap pasif dan lembut kepada para sekutunya.
Saya tidak menilai kasus ini untuk membela Rusia atau Arab Saudi tetapi untuk menunjukkan bahwa prinsip tebang pilih ini bisa terjadi kepada siapa saja, termasuk kepada Indonesia, apabila tidak mengikuti kemauan negara-negara Barat. Kasus ini juga membuktikan bahwa demokrasi dan HAM selalu berbalut kepentingan.
Khasshoggi adalah warga negara Arab Saudi yang hidup di Amerika Serikat dan Sergei Skripal adalah warga Rusia yang tinggal di Inggris. Kedua-duanya dianggap aib bagi masing-masing negara.
Khasshoggi adalah seorang jurnalis yang selalu mengkritik sepak terjang keluarga Saud yang menguasai Negara Arab Saudi, sementara Sergei Skripal adalah mantan tentara Rusia yang membocorkan rahasia negara Rusia dan bekerja untuk kepentingan intelijen tiga negara.
Khasshoggi tidak lagi tinggal di Arab Saudi dan memilih menjadi penduduk tetap di AS karena merasa nyawanya terancam akan dibunuh. Dia tetap melakukan kritiknya terhadap anggota keluarga kerajaan melalui media Washington Post. Sementara Sergei Skripal juga tinggal di Inggris tetapi keluarganya masih tinggal di Rusia. Putrinya, Yulia Skripal, masih dapat bepergian untuk mengunjungi ayahnya secara reguler.
Perbedaan antara Khasshoggi dan Skripal adalah yang pertama berhasil dibunuh, setidaknya menurut informasi intelijen Turki di konsulat Arab Saudi di Turki, sementara Sergei Skripal dan putrinya Yulia dapat lolos dari upaya pembunuhan, masih dapat diselamatkan dan pulih dengan normal.
Perbedaan yang utama adalah reaksi diplomatik dari negara-negara Barat terhadap kedua kasus yang hampir mirip itu. Pihak Barat tidak segera mengeluarkan kutukan terhadap Arab Saudi ketika kasus pembunuhan Khasshoggi terungkap. Sikap mereka berbeda ketika menghadapi kasus Sergei Skripal yang terjadi tujuh bulan lalu di Inggris.
Dalam kasus Sergei Skripal, meskipun belum ada bukti-bukti yang dapat diverifikasi oleh lembaga yang lebih netral, Perdana Menteri Inggris Theresa May langsung mengutuk (condemn) dan menuduh Rusia sebagai dalangnya. Tuduhan tersebut kemudian diikuti oleh negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Kanada dan sebagian besar negara-negara Eropa.
Tuduhan itu bahkan disertai dengan pengusiran staf diplomatik Rusia dari beberapa negara dan kemudian dibalas hal yang sama oleh Rusia. Kasus ini juga sempat dibahas dalam rapat Dewan Keamanan PBB di mana Rusia menuntut akses dan penyelidikan bersama, namun ditolak oleh Inggris dan pihak Barat.
Dalam kasus Khassoggi, meski bukti-bukti sudah jelas dan diakui oleh pihak Arab Saudi sebagai sebuah operasi yang tidak disetujui, pihak Barat hanya menyampaikan keprihatinan (concern) dan menunggu penyelidikan lebih lanjut tentang kasus tersebut.
Wajar apabila Vladimir Putin kemudian menyoroti perbedaan sikap negara Barat sebagai sebuah sikap kemunafikan. Kita pun tahu bahwa pembunuhan terhadap figur pengkritik di Arab Saudi bukan hanya terjadi pada Khassoggi; sudah ada sejumlah pegiat perempuan yang raib dan diduga telah kehilangan nyawa di negara itu.
Konsistensi sikap Barat yang hanya mendukung negara-negara yang menjadi aliansinya menimbulkan masalah karena selama ini kita mengampanyekan bahwa ada hubungan antara demokrasi dengan keadilan sosial.