Kota Mobile di Alabama kini di ambang ledakan pariwisata. Minat turis untuk mengetahui kisah kapal Clotilda dan kehidupan para tawanannya perlahan meningkat.
Patterson salah satu keturunan para budak yang menikmati hasilnya. Pria yang kini berusia 60 tahunan itu sempat tumbuh di daerah tersebut.
"Satu-satunya momen kami meninggalkan komunitas ini adalah saat membayar tagihan listrik," ujarnya.
Terletak 5 kilometer di sisi utara pusat Kota Mobile, Africatown didirikan oleh 32 penyintas kapal budak Clotilda. Mereka selamat dan hidup pada era emansipasi di akhir Perang Saudara tahun 1865.
Komunitas itu didirikan atas dasar kerinduan terhadap tanah air, memadukan tradisi Afrika dan cara hidup tradisional warga Amerika, seperti memelihara ternak dan mengelola lahan pertanian.
Sebagai salah satu kota pertama yang didirikan dan dikendalikan oleh keturunan Afrika-Amerika di AS, Africatown memiliki gereja sendiri, tempat pangkas rambut, dan berbagai toko, yang salah satunya dimiliki paman Patterson.
Ada pula Mobile County Training School, sebuah sekolah umum yang menjadi tulang punggung masyarakat setempat.
Namun, lingkungan yang dulu semarak ini mengalami masa-masa sulit ketika jalan bebas hambatan dibangun melintasi jantung daerah itu pada 1991. Polusi industri juga membuat banyak penduduk yang tersisa akhirnya berkemas dan pergi.
"Kami bahkan tidak bisa menjemur cucian karena akan tertutup abu produk dari tangki penyimpanan minyak dan pabrik di pinggiran Africatown," kata Patterson.
Komunitas Africatown yang sempat membengkak menjadi 12.000 orang pada 1960, kini menyusut hingga sekitar 2.000 orang saja.
Namun Africatown berubah, sekali lagi. Setelah penemuan bangkai kapal, muncul keinginan untuk membangun kembali dan melestarikan tempat bersejarah ini.
Perhatian sekelompok orang dan dana memengaruhi segalanya, dari hubungan pribadi, sejarah hingga masa depan permukiman tersebut.