Ahmad Islamy Jamil
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia
PADA 24 Februari 2022, Rusia mulai melancarkan agresi militernya ke Ukraina. Pasukan Moskow menyerang negeri tetangganya itu lewat darat, laut, dan udara. Sebanyak 190.000 tentara pun dikerahkan. Oleh sebagian kalangan, serangan itu disebut-sebut sebagai yang terbesar di Eropa sejak Perang Dunia II. Tindakan Moskow itu menuai reaksi dan kecaman dari kalangan internasional, terutama dunia Barat. Amerika Serikat, Uni Eropa, dan negara-negara sekutunya berlomba-lomba menjatuhkan berbagai paket sanksi terhadap Rusia atas tindakan militernya tersebut.
Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut agresi militer negaranya ke Ukraina sebagai “operasi khusus”. Menurut dia, operasi itu sebagai respons atas permintaan dari Republik Rakyat Luhansk (LPR) dan Republik Rakyat Donetsk (DPR) yang menginginkan bantuan Moskow untuk melawan militer Ukraina yang kian agresif terhadap penduduk Donbas. LPR dan DPR adalah dua entitas politik di Donbas yang memproklamasikan diri sebagai negara merdeka di Ukraina.
Putin beralasan, operasi militer tersebut bertujuan untuk melindungi warga Donbas, termasuk warga etnik Rusia yang sudah bertahun-tahun menjadi target “genosida” di Ukraina. Namun, klaim Putin itu dianggap Barat sebagai propaganda yang mengada-ada dan tidak masuk akal. Amerika Serikat dan sekutunya lebih suka menyebut agresi militer Rusia sebagai “invasi”, alih-alih “operasi khusus” yang kerap dipakai Putin sebagai pembenaran atas tindakan negaranya di Ukraina.
Sampai hari ini, konflik Rusia-Ukraina belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda, apalagi berakhir. Sementara itu, dampak dari perang tersebut tidak hanya dirasakan oleh kedua belah pihak yang bertikai, melainkan juga berimbas ke negara-negara lain. Harga bahan bakar melonjak di seluruh dunia, yang di antaranya sebagai akibat dari sanksi internasional terhadap produsen minyak Rusia pascaagresi ke Ukraina, di samping naiknya permintaan dan tekanan pada kapasitas penyulingan. Tak hanya itu, krisis pangan global kian mencengkeram negara-negara miskin, karena tersendatnya pasokan biji-bijian dari Rusia dan Ukraina, di mana kedua negara bekas Uni Soviet itu masuk dalam daftar eksportir gandum terbesar di dunia.
Agresi militer Rusia di Ukraina—yang berlangsung hampir sepanjang tahun ini—tidak muncul begitu saja. Ia sejatinya merupakan kelanjutan dari konflik yang mendera kedua negara pada 2014, ketika Rusia menganeksasi Semenanjung Krimea dari Ukraina. Sejak itu, ketegangan yang diselingi dengan kontak senjata berlangsung secara sporadis di wilayah Donbas, yang sebagian dikuasai oleh kelompok separatis pro-Rusia. Hingga Desember 2021, konflik di Donbas telah menyebabkan jatuhnya 14.200-14.400 korban jiwa dari kalangan rakyat sipil dan militer.
Kini, setelah Rusia melancarkan operasi militernya di Ukraina 10 bulan lalu, jumlah nyawa yang melayang pun bertambah. Menurut data yang dihimpun Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) dari 24 Februari hingga 5 Desember 2022, terdapat 17.181 warga sipil yang menjadi korban perang tersebut di Ukraina. Perinciannya, 6.702 orang meninggal dunia, sedangkan sebanyak 10.479 lainnya luka-luka.