Pada April lalu, Teheran hanya butuh waktu kurang dari dua minggu untuk membalas serangan Israel terhadap konsulatnya di Damaskus, Suriah, yang menewaskan dua komandan militer senior Iran dan beberapa lainnya. Karenanya, penundaan serangan balas dendam atas kematian Haniyeh yang diperpanjang kali ini telah menimbulkan pertanyaan tentang strategi Teheran saat ini.
Para analis menunjukkan beberapa faktor yang dapat menjelaskan penundaan itu. Yang paling utama adalah ketakutan akan respons Israel yang kuat yang dapat menyebabkan Iran semakin malu dan berpotensi meningkat menjadi konflik yang lebih luas yang melibatkan Amerika Serikat. Kepemimpinan Iran, yang memprioritaskan mempertahankan cengkeramannya pada kekuasaan di atas segalanya, kemungkinan besar waspada untuk memicu situasi yang dapat melemahkan kendalinya itu.
"Banyak pihak di Iran, termasuk tokoh-tokoh terkemuka di kelas politik negara itu, memperingatkan para pemimpin negara tentang konsekuensi perang habis-habisan yang dapat benar-benar menghancurkan negara dan mematikan rezim," kata Arash Azizi, peneliti tamu di Frederick S Pardee Center for the Study of the Longer-Range Future, Universitas Boston, kepada laman Alarabiyah.
Pengerahan aset militer AS tambahan yang lebih dekat ke Iran baru-baru ini juga tampaknya telah membuat Teheran berpikir panjang. Menurut Pentagon (Departemen Pertahanan AS), peningkatan kehadiran militer AS ini telah merasuki pikiran para pemimpin Iran.
Iran sebelumnya telah menunjukkan penolakan keras terhadap perang dengan AS. Contoh utama dari sikap ini dapat dilihat pada kasus pembunuhan Komandan Pasukan Quds Iran, Qassem Soleimani, oleh AS pada 2020. Meskipun Soleimani penting, tanggapan Iran pada waktu itu begitu terukur, dan bertujuan untuk menghindari perang habis-habisan dengan AS.